Kamis, 27 Mei 2010

SUMBERDAYA LAHAN: KARAKTERISTIK DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

SUMBERDAYA LAHAN:
KARAKTERISTIK DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

Disarikan:
Prof Dr Ir Soemarno, M.S.
Anggota Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur, Mei 2002


1.1. Sumberdaya LAHAN dan PENGELOLAANNYA

Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan (Satari, dkk., 1991).
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degrad¬asi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pede¬saan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebija¬kan-kebijakan lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber¬daya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga¬kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka panjang, (4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah (1) para perencana program harus men¬guasai pengetahuan tentang "sistem pertanian ber-kelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) para pelaksana program harus mampu "ber-komunikasi dengan petani" dalam rangka untuk meng-akomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses peruba¬han berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka panjang"; (4) para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan (5) para perencana harus menge¬tahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebu-tuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Collison (1982) mengemukakan empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahata¬ni konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunun¬gan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebija¬kan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan. Dalam kai¬tannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah pegu¬nungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1) aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogeni¬tas dan diversitas, (5) suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah meka-nisme adaptasi manusia.

1.2. Konsepsi Umum tentang Lahan

Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).

1.3. Sistem Sumberdaya Lahan

Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempu- nyai komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam ting¬kat kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permu¬kaan, proses produksi tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-faktor ini menen¬tukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980).
Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985).
Upaya pemanfaatan lahan pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas pengelolaan sumberdaya lahan dalam hal ini pada dasarnya merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada dengan persyaratan bagi ko- moditas pertanian (Sitorus, 1985). Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi kemampuan dan kesesuaian sumberdaya lahan terhadap persyaratan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional, konsepsi tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam konsepsi kualitas lahan yang dapat dievaluasi secara lebih kuanti¬tatif dan lebih obyektif (Soemarno, 1990; Janssen, 1991). Hubungan antara kondisi lahan dengan respon tanaman dalam upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat produktivitas lahan (Wood dan Dent, 1983). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil evaluasi ini penting dalam rangka perencanaan dan pengelo¬laan sumberdaya lahan (Sys, 1985; Soemarno, 1990).
Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah menggunakan lahan sebagai komponen sistem usahata¬ni. Suatu sistem usahatani komoditas pada kenyataannya sangatlah kompleks (subsistem sumberdaya alam, dan subsis¬tem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan senan¬tiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan sistemik dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usahatani komoditas dalam kerangka pewilayahannya (Dent dan Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan Wright, 1971). Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struk¬tur sistem dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap sistem usahatani komoditas di suatu wilayah pengem-bangan (Soemarno, 1988).

1.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dalam bidang perta¬nian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya untuk usaha pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat.
Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi. Proses evaluasi lahan pada hakekatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik yang bersifat kualitatif maupun kuan¬titatif. Sistem evaluasi lahan dengan komputer (Land Evalua¬tion Computer System, LECS) pada dasarnya merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi lahan (Framework for Land Evaluation, FAO, 1976) . Penggunaan fasilitas kom¬puter dalam analisis kesesuaian lahan sangat diperlukan karena: (i) melibatkan banyak data yang meliputi berbagai unit lahan, berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis tanaman pertanian dan tanaman hutan; (ii) penilaian dilakukan secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat kesesuaian tanaman; dan (iii) pemodelan diperlukan untuk lebih memahami interaksi yang rumit dalam sistem pertanian (Wood dan Dent, 1983).

1.5. Pengelolaan Lahan

Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mem¬pengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984).
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la¬han kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air). Persesuaian syarat agroeko-logis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbul¬kan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering-kritis di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut dapat bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedi¬mentasi di berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971). Soekardi dan Eswaran (1991) mengemukakan beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berba¬gai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggu¬naan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang memper¬tahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani menge¬lola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan (3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena keterbatasan penguasaan pengeta¬huan, teknologi dan kapital (Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan untuk peng¬gunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi per¬encanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se¬dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebalik¬nya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum meli¬batkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi¬mental di lapangan yang sangat ter¬gantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987).
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, tekno-logi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-ba¬han kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasa¬nya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempu¬nyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendung¬an, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbul-kannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sa¬ngat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kon¬disi seperti ini di-perlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan bebera¬pa macam campur tangan pemerintah untuk mengendali¬kan efek eksternalitas, yaitu (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efe eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan de¬gradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988).
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pemba¬tas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Is¬pandi, 1990; dan Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor le¬reng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tin¬dakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi la¬han. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanam¬an tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi, 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang yang tampak¬nya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa (Nuhar¬diya¬ti, 1988; Djumali dan Sasa, 1988). Kedua jenis komodi¬tas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman (Thamrin, 1990; Soelaiman, 1990). Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum mengana¬lisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan lim¬pasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memper¬hitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifi- kasi adalah ternak (Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990 b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengu¬rangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminan¬sia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberi¬kan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat ber¬pengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpul¬kan bahwa upaya pengelolaan lahan kering - kritis dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara me¬madai . Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990c; dan Rachman, 1990). Tam-paknya para peneliti ini menghada¬pi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga in-formasi tentang kesesuaiannya.


PENGUJIAN MUTU BENIH TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN PENGUJIAN MUTU BENIH TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA CIMANGGIS DEPOK

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jagung sebagai tanaman pangan di Indonesia, menduduki urutan kedua setelah padi. Namun jagung mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dengan padi. Di Negara agraris seperti Indonesia, sangat mendukung dikembangkannya komoditi jagung, sebab tanaman jagung memiliki potensi yang cukup untuk dibudidayakan dan mudah diusahakan. Peran penganekaragaman kebutuhan pangan dari bahan jagung sangat diperlukan dalam usaha tani ini, sehingga tidak mustahil komoditas jagung pada dewasa ini mendapat perhatian. Bahkan dalam jangka waktu yang relatif pendek areal penanaman jagung hibrida yang memiliki keunggulan produksi berkembang dengan pesat, demikian juga jagung manis.
Jagung merupakan salah satu jenis bahan pangan yang mengandung sumber hidrat arang yang dapat digunakan untuk menggantikan (mensubstitusi) beras sebab :
a. Jagung memiliki kalori yang hampir sama dengan kalori yang terkandung pada padi.
b. Kandungan protein di dalam biji jagung sama dengan biji padi, sehingga jagung dapat pula menyumbangkan sebagian kebutuhan protein yang diperlukan manusia. Kandungan karbohidrat jagung mendekati karbohidrat pada padi, sehingga jagung memiliki nili gizi yang mendekati nilai gizi padi.
c. Jagung dapat tumbuh pada berbagai macam tanah, bahkan pada kondisi tanah yang agak kering pun jagung masih dapat ditanam. Di daerah-daerah tertentu jagung digunakan sebagai makanan pokok, karena jagung mudah diperoleh (AAK, 2001).
Selain sebagai bahan makanan, jagung juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Sekitar 52,4 persen bahan baku ternak berasal dari jagung. Kebutuhan pakan ternak meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging ayam, telor, dan daging. Peningkatan permintaan jagung di masyarakat terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan jagung pada tahun 2005 mencapai 9,89 juta ton dan terus meningkat menjadi 10,35 juta ton pada tahun 2010, namun peningkatan permintaan jagung tidak diiringi dengan peningkatan produksi jagung. Selama kurun waktu 1996 sampai dengan 2001, produktivitas jagung hanya naik rata-rata 2,52 persen per tahun dengan rata-rata hasil 2,67 ton per hektar, apabila tidak dilakukan upaya percepatan peningkatan produksi, maka kekurangan pemenuhan kebutuhan jagung akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Diversifikasi pengolahan jagung dalam jangka panjang akan meningkatkan permintaan jagung dalam negeri walaupun dalam jangka pendek hal ini harus bersaing dengan kebutuhan untuk pakan. Diversifikasi pengolahan untuk bahan pangan mempunyai pengaruh yang positif terhadap diversifikasi menu. Hal ini terutama penting untuk masyarakat kota yang menunjukan kecenderungan bahwa konsumsi jagung (olahan) meningkat dengan naiknya pendapatan (Data Depkes, 2003).
Adaptasi dan produktivitas budidaya jagung menyebar secara cepat di seluruh dunia setelah petualang Spanyol dan Eropa mengekspor tanaman ini dari Amerika pada abad ke 15 dan 16. Jagung diproduksi hampir di semua negara dunia saat ini dan merupakan tanaman ketiga terbanyak yang dipanen setelah gandum dan padi. Produksi besar-besaran jagung terjadi di Amerika Serikat, RRC, dan Brazil, yang secara bersamaan menghasilkan sekitar 73% produksi global tahunan. Tempat keempat diduduki oleh Brazil yang memproduksi sekitar 14%, yang merupakan asal dari jagung ini (Tanah karo, 2007).
Mutu benih sangat menentukan tingkat produktivitas jagung yang dicapai. Selain itu, penggunaan benih yang bermutu tinggi bersifat lebih respon terhadap teknologi produksi yang diterapkan dan menentukan kepastian populasi tanaman yang tumbuh. Ketersediaan benih diharapkan tidak sekedar benih yang dapat tumbuh lalu berkembang dan pada akhirnya akan membentuk buah/biji lagi, namun benih yang diinginkan adalah benih yang vigor, terutama untuk program perluasan areal pertanian (ekstensifikasi). Benih yang vigor lebih toleran tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dan lingkungan yang kurang subur, serta tahan disimpan. Oleh karena itu program peningkatan produksi tanaman pangan harus didukung dengan benih yang unggul dari segi varietas serta memiliki mutu benih yang tinggi. Mutu benih tersebut harus mencakup mutu genetik, fisik, serta mutu fisiologi (Adisarwanto dan Widyastuti, 2001).
Benih bermutu adalah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi tersebut memiliki daya tumbuh >90%, dengan ketentuan Memiliki viabilitas dan memiliki kemurnian (Kartasapoetra, 2003).
Cara untuk mendapatkan benih bermutu dapat diperoleh melalui teknik pengujian mutu benih yang benar-benar cermat dan intensif. Dalam melaksanakan pengujian benih yang pertama-tama dilakukan adalah pengambilan contoh benih, kemudian pengujian kemurnian benih, dan kadar air, setelah itu barulah uji daya kecambah, uji kekuatan tumbuh benih, dan uji kesehatan terhadap benih tersebut.
Praktik kerja lapang mengenai pengujian mutu benih tanaman jagung di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok penting untuk diketahui dan dipelajari karena menyangkut benih dan pengujian mutu benih jagung, sehingga dapat menghasilkan benih bermutu tinggi yang siap dipasarkan oleh para produsen benih yang dapat meningkatkan produksi jagung.

B. Tujuan Praktik Kerja Lapang
Praktik kerja lapang ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui dan mempelajari pengembangan dan pengujian mutu benih jagung (Zea mays) di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok.
2. Mengetahui dan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan pengujian mutu benih jagung (Zea mays) di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok.
3. Latihan kerja pada bidang pertanian agar diperoleh keterampilan di bidangnya.
C. Manfaat Praktik Kerja Lapang
Manfaat yang diharapkan dari praktik kerja lapang ini adalah :
1. Memperoleh pengetahuan dan dapat mempelajari secara langsung mengenai pengembangan dan pengujian mutu benih jagung (Zea mays) di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok.
2. Dapat Mengetahui dan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan pengujian mutu benih jagung (Zea mays) di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok, serta dapat memecahkan masalah-masalah tersebut.
3. Memperoleh pengalaman kerja pada suatu instansi/organisasi yang bergerak di bidang pertanian khususnya di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Cimanggis, Depok.










II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Botani Jagung
1. Sistematika
Jagung (Zea mays L) merupakan tanaman berumah satu (monoecious) di mana letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung termasuk tanaman C4 yang mampu beradaptasi baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil (Prabowo, 2007).
Tanaman jagung termasuk keluarga (famili) gramineae, seperti kebanyakan jenis rumput-rumputan. Tetapi tanaman jagung yang termasuk genus zea ini hanya memiliki spesies tunggal (AAK, 2001).
Menurut Wikipedia (2008), kedudukan tanaman jagung dalam taksonomi adalah sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae (Graminae)
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L.
Tanaman jagung berasal dari Amerika. Di Amerika orang-orang indian telah lama menanamnya sejak orang-orang Eropa datang. Jagung telah ditanam di berbagai tempat di Benua Amerika terutama di daerah-daerah Meksiko, Amerika tengah dan Selatan. Jagung pada waktu itu merupakan makanan penduduk. Tanaman jagung menyebar ke Asia dan Afrika melalui Eropa. Pada abad ke-16 tanaman jagung ini dibawa orang-orang Portugis ke Pakistan, Tiongkok, dan Indonesia. Orang-orang Belanda menamakan jagung ini “mais” dan orang-orang Inggris “corn” (Purwono dan Hartono, 2005).
Menurut Rukmana (2005), golongan atau grup jagung menurut ilmu pertanian dapat dibedakan berdasarkan atas sifat, distribusi dan kepentingannya dan dapat digolongkan sebagaai berikut :
a. Zea mays identata Sturt (Dent corn)
Yaitu jagung gigi kuda (bentuk bijinya seperti gigi kuda). Jagung golongan ini tumbuh tersebar luas di Amerika Serikat dan Mexico utara.
b. Zea mays indurata Sturt (Flint corn)
Biji jagung mengandung zat tepung yang lunak hanya di bagian dalamnya, dalam jumlah sedikit saja, sedangkan disebelah luarnya adalah keras (horny strach).
c. Zea mays saccharata Sturt (Sweet corn)
Jagung ini berbiji menyerupai kaca dan mempunyai zat pati yang manis, kandungan lemak pada jagung ini lebih tinggi dari jagung lainya.
d. Zea mays everata Sturt (Pop corn)
Jagung ini hanya di tanam di Amerika, seperti di Iowa, Nebraska, dan di Mexico. Biji jagung ini mempunyai bentuk bermacam-macam, apabila bijinya dipanaskan akan segera mengembang.

e. Zea mays tunicata Sturt (Pod corn)
Jagung ini mempunyai bentuk yang tidak biasa, yaitu tiap biji pada janggel diselubungi oleh kelobot kecil, juga tongkolnya sendiri diselubungi kelobot.
f. Zea mays ceratina kelesh (Waxy corn)
Jagung ini berbiji menyerupai lilin. Dalam jagung ini molekul-molekul zat patinya berbeda dari jagung kain karena mirip dengan glycogen.
g. Zea mays amylacea Sturt (Flour corn)
Jagung ini banyak ditanam di daerah Amerika dan Afrika. Jagumg ini mempunyai biji yang mengandung hampir seluruhnya zat pati yang lunak.
2. Morfologi
Jagung termasuk tanaman C4 yang mampu beradaptasi baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil. Daun tanaman C4 sebagai agen penghasil fotosintat yang kemudian didistribusikan, memiliki sel-sel seludang pembuluh yang mengandung klorofil. Sifat-sifat menguntungkan dari jagung sebagai tanaman C4 antara lain aktivitas fotosintesis pada keadaan normal relatif tinggi, fotorespirasi sangat rendah, transpirasi rendah serta efisien dalam penggunaan air (Prabowo, 2007).
Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim (annual). Susunan tubuh (morfologi) tanaman jagung terdiri atas akar, batang, daun, bunga dan buah (Suprapto dan Marzuki, 2005).
a. Akar
Akar tanaman jagung dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang sesuai untuk per tumbuhan dan perkembangan tanaman. Sistem perakaran jagung terdiri dari akar-akar seminal yang tumbuh ke bawah pada saat biji berkecambah, akar koronal yang tumbuh ke atas dari jaringan batang setelah plumula muncul, dan akar udara (brace) yang tumbuh dari buku-buku di atas permukaan tanah. Akar-akar seminal terdiri dari akar-akar radikal atau akar primer ditambah dengan sejumlah akar-akar lateral yang muncul sebagai akar adventious pada dasar dari buku pertama di atas pangkal batang. Pada umumnya akar-akar seminal berjumlah 3 - 5, tetapi dapat bervariasi dari 1 - 13. akar koronal adalah akar yang tumbuh dari bagian dasar pangkal batang. Akar udara tumbuh dari buku-buku kedua, ketiga atau lebih diatas permukaan tanah, dapat masuk ke dalam tanah (Warisno, 2005).
b. Batang
Batang jagung berbeda dari batang padi-padian yang lainnya yaitu padat (solid), sedangkan padi-padian batangnya berlubang. Batang jagung terisi oleh teras. Di dalam teras terdapat berkas-berkas pembuluh, seolah-olah tak beraturan. Di sebelah luar jumlah berkas pembuluh itu lebih banyak sehingga dapat menguatkan batang. Batang jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10 – 40 ruas. Tanaman jagung biasanya tidak bercabang, kecuali pada jagung manis sering tumbuh beberapa cabang yang muncul pada pngkal batang. Tinggi batang berkisar antara 60 – 300 cm, tergantung pada tipe jagung. Ruas-ruas batang bagian atas berbentuk silindris dan ruas-ruas batana bagian bawah berbentuk bulat agak pipih (Rukmana, 2005). Menurut Warisno (2005), pertumbuhan batang tidak hanya memanjang saja, tetapi juga terjadi pertumbuhan ke samping atau membesar, bahkan batang tanaman jagung dapat tumbuh membesar dengan diameter sekitar 3 - 4 cm.
c. Daun
Daun jagung berbentuk pita memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Struktur daun jagung terdiri dari tiga bagian, yaitu kelopak daun, lidah daun (ligula), dan helaian daun. Kelopak daun pada umumnya membungkus batang seluruhnya atau sebagian, kadang sampai pada bukunya tertutup kelopak sehingga buku-buku tersebut tidak tampak lagi. Antara kelopak dan helaian terdapat lidah daun yang disebut ligula. Ligula ini berfungsi mencegah air yang masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Jumlah daun tiap tanaman bervariasi antara 8 – 48 helai. Ukuran daunnya berbeda-beda, yaitu panjang antara 30 – 150 cm dan lebar mencapai 15 cm (Rukmana, 2005).
d. Bunga
Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2 - 5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri) Bunga jantan disebut juga staminate. Bunga ini terbentuk pada saat tanaman sudah mencapai pertengahan umur (Wikipedia, 2008).
e. Buah (biji)
Biji jagung terletak pada tongkol (janggel) yang tersusun memanjang. Pada tongkol tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-rambut yng memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1 - 2 tongkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan bervariasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban udara. Angin panas dan kering dapat mengakibatkan tepung sari tidak keluar dari pembungkus atau tidak tumbuh sehingga penyerbukan terganggu (AAK, 2001).

B. Ekofisiologi Tanaman Jagung
Pertumbuhan dan produksi tanaman jagung ditentukan oleh proses fisiologi yang berlangsung di dalamnya. Proses fisifisiologi tersebut dipengaruhi oleh faktor iklim seperti suhu, air (hujan), radiasi surya, serta kelembaban. Oleh karena itu, agar tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan tongkol dan biji yang banyak, diperlukan tempat pembudidayaan dan iklim yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman jagung (Purwono dan Hartono, 2005).


Menurut Rukmana (2005), jagung merupakan tanaman yang dapat ditanam di daerah dengan berbagai tipe iklim dan pada berbagai jenis tanah. Secara umum tanaman jagung dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi ± 1.300 m dpl, dengan kisaran suhu udara antara 130C – 380C, dan mendapat sinar matahari penuh.
Tanaman jagung sangat dipengaruhi oleh temperatur dari luar. Suhu yang terlalu tinggi dan kelembaban yang rendah akan mengganggu proses persarian. Suhu yang rendah (sekitar 150C) akan mengakibatkan perkecambahan tertunda, sehingga muncul di atas tanah lebih dari 7 hari. Suhu sekitar 250C akan mengakibatkan perkecambahan biji jagung lebih cepat, yaitu kurang dari 7 hari. Suhu yang terlalu tinggi (lebih dari 400C) akan mengakibatkan kerusakan embrio, sehingga tanaman tidak jadi berkecambah (Warisno, 2005).
Salah satu unsur yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman jagung adalah jumlah dan distribusi hujan. Dalam pertumbuhannya tanaman jagung membutuhkan jumlah hujan yang relatif sedikit. Tanaman ini akan tumbuh baik pada curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Tanaman jagung sebaiknya ditanam di awal musim hujan, dan menjelang musim kemarau (Prabowo, 2007).
Jagung dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi yang memiliki ketinggian sekitar 1000 m dari permukaan laut (dpl). Umumnya, jagung ditanam di daerah dengan ketinggian kurang dari 800 m dpl akan memberikan hasil yang tinggi. Jagung yang ditanam di tanah dengan ketinggian 800 – 1200 m dpl juga masih bisa berproduksi dengan baik. Tanah yang baik untuk pertumbuhan jagung adalah tanah yang subur dan gembur. Selain itu juga diperlukan aerasi dan drainase yang baik. Kemasaman tanah (pH) yang baik untuk tanaman jagung yaitu antara 5,5 – 7,0. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya (Warisno, 2005).

C. Tinjauan Umum Benih Bermutu
Sampai saat ini masih banyak orang yang menyebut benih sebagai bibit. Bibit adalah benih yang telah ditumbuhkan ataupun stek yang akan digunakan untuk tujuan pertanaman, sedangkan benih adalah segala jenis biji-bijian untuk tujuan penanaman. Untuk lebih jelasnya definisi tentang benih adalah sebagai berikut :
1. Secara strutural, benih sama dengan biji karena merupakan bakal biji yang akan dibuahi.
2. Secara fungsional, benih tidak sama dengan biji karena benih adalah biji tumbuhan yang digunakan untuk tujuan penanaman.
3. Secara agronomis, benih adalah sarana untuk mecapai maksimisasi produksi tanaman.
4. Secara teknologi, benih adalah sesuatu yang hidup, tanaman mini yang tersimpan dalam keadaan istirahat(Sutopo, 2002).
Benih jagung secara garis besarnya terdiri dari struktur kulit biji yang terbentuk dari integumen pada ovule, endosperm yang terbentuk dari perpaduan antara satu sel generatif jantan dengan dua inti polar sel betina dan membentuk endosperm triploid, dan bagian embrio yang terbentuk dan hasil pembuahan ovum dengan satu inti sel jantan. Di antara kulit biji dengan endosoerm terdapat lapisan aleuron yang terbentuk pada saat benih mulai mencapai periode pemasakan biji (Warisno, 2005).
Menurut Kartasapoetra (2003), benih bermutu adalah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi tersebut memiliki daya tumbuh >90%, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Memiliki viabilitas atau dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhannya menjadi tanaman yang baik atau mampu berkecambah dan tumbuh dengan normal, merupakan tanaman yang menghasilkan atau sering disebut juga sebagai benih yang matang.
2. Memiliki kemurnian (trueness seeds), artinya terbebas dari kotoran, terbebas dari benih tanaman lain, terbebas dari benih varietas lain, dan terbebas pula dari biji herba, hama dan penyakit.
Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum memilki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio belum sempurna (Sutopo, 2002).
Benih bermutu tinggi adalah benih yang murni genetis, dapat berkecambah, vigor, tidak rusak, bebas dari kontaminan dan penyakit, berukuran tepat (jika perlu), cukup dirawat (untuk jenis-jenis yang perlu dirawat), dan secara keseluruhan berpenampilan baik. Agar lot benih memenuhi semua spesifikasi yang ideal, maka ditetapkan adanya standar mutu minimum. Standar minimum ini bukanlah tujuan, tetapi merupakan taraf terendah dari berbagai sifat mutu yang dapat diterima. Tujuannya adalah berupa mutu yang tertinggi (Mugnisjah dan setiawan, 1995).
Biji-biji yang dihasilkan tanaman yang dijadikan benih, terutama harus diambil dari tanaman-tanaman yang memiliki kondisi sebagai berikut :
1. Dipilih dari pohon induk dari tanaman yang kita maksud.
2. Pohon atau tanaman induk yang dipilih itu seharusnya menunjukkan keadaan tanaman yang sehat, tumbuh dengan subur, tidak menunjukkan adanya gejala-gejala terserang hama dan penyakit tanaman.
3. Produksi buah atau biji-bijian dari tanaman induk tersebut menunjukkan kuantitas dan kualitas yang baik (Kartasapoetra, 2003).

D. Pengujian Mutu Benih
Pengujian benih itu sangat penting, terujinya benih berarti terhindarnya para petani dari berbagai kerugian yang dapat timbul dalam pelaksanaan usaha taninya. Selain itu benih yang baik atau unggul ditunjang dengan kultur teknik yang mantap, akan dapat meningkatkan berbagai produk pertanian (Kartasapoetra, 2003). Pengujian benih ditujukan untuk mengetahui mutu dan kualitas benih. Informasi tersebut tentunya akan sangat bermanfaat bagi produsen, penjual maupun konsumen benih. Karena mereka bisa memperoleh keterangan yang dapat dipercaya tentang mutu atau kualitas dari suatu benih (Sutopo, 2002).
Faktor kualitas benih ditentukan oleh persentase dari benih murni, benih tanaman lain, biji herba, kotoran yang tercampur, gaya berkecambah atau daya tumbuh benih, benih berkulit keras, terdapatnya biji-bijian herba yang membahayakan benih, terbebasnya benih dari penyakit dan hama tanaman, kadar air benih serta hasil pengujian berat benih per seribu biji benih yang dimaksud (Kartasapoetra, 2003).
Viabilitas benih atau daya hidup benih yang dicerminkan oleh dua informasi masing-masing daya kecambah dan kekuatan tumbuh dapat ditunjukkan melalui gejala metabolisme benih dan/atau gejala pertumbuhan. Uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalnya dengan mengukur gejala-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan membandingkan unsur-unsur tumbuh penting dari benih dalam suatu periode tumbuh tertentu.
Selain uji viabilitas benih terdapat pula uji kesehatan benih, yaitu untuk mengetahui kondisi kesehatan dari suatu kelompok benih. Kesehatan benih juga merupakan salah satu faktor yang menentukan nilai lapangannya. Di samping itu uji kesehatan benih juga ditunjukkan untuk mengetahui penyebab dari abnormalitas kecambah dalam uji perkecambahan di laboratorium (Sutopo, 2002).
Pelaksanaan pengujian mutu benih meliputi beberapa tahapan, yang pertama dilakukan adalah pengambilan contoh benih, kemudian pengujian kemurnian benih dan kadar air. Setelah itu barulah dilakukan uji daya kecambah, uji kekuatan tumbuh benih ataupun uji kesehatan benih terhadap contoh tersebut (Kartasapoetra, 2003).

1. Pengambilan Contoh Benih
Sebagai langkah pertama dalam pelaksanaan pengujian benih adalah menyediakan suatu contoh benih yang dapat dianggap seragam dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh ISTA. Suatu contoh benih yang diuji harus dapat mewakili keseluruhan kelompok benih yang lebih besar jumlahnya. Ada empat macam contoh benih yang dinyatakan dalam peraturan ISTA, yaitu :
a. Contoh primer (primary sampel) adalah benih yang diambil dalam jumlah besar dari berbagai tempat penyimpanan baik wadah maupun bulk.
b. Contoh campuran (composite sample) adalah semua contoh primer yang dijadikan satu dan dicampur dalam satu tempat (kantong, kotak, tray, dan lain-lain). Biasanya contoh campuran jauh lebih besar dari yang diperlukan sehingga harus dikurangi.
c. Contoh yang dikirim ke laboratorium (submitted sample) adalah contoh campuran yang telah dikurangi sampai jumlah berat tertentu yang telah ditetapkan dan kemudian dikirim ke laboratorium penguji benih.
d. Contoh uji (working sample) adalah contoh benih yang diambil dari “submitted sample” dan digunakan sebagai bahan uji benih di laboratorium(Sutopo, 2002).
Dari sampel-sampel benih tersebut hanya jumlah yang diperlukan dalam analisis, sisa dari sample kemudian disimpan dalam rak-rak khusus sebagai persediaan sekiranya tes perlu diulang. Dalam pengujian benih penguji harus memperhatikan dan menjaga bahwa benih-benih yang diuji itu tetap asli atau utuh (Kartasapoetra, 2003).
2. Pengujian Kemurnian Benih
Pengujian kemurnian benih merupakan kegiatan-kegiatan untuk menelaah tentang kepositifan fisik komponen-komponen benih termasuk pula persentase berat dari benih murni (pure seed), benih tanaman lain, benih varietas lain, biji-bijian herba (weed seed), dan kotoran-kotoran pada masa benih (Sutopo, 2002).
a. Benih murni
Meliputi semua varietas dan setiap species yang diakui sebagaimana yang dinyatakan oleh pengirim atau panguji di laboratorium.
b. Benih tanaman lain/varietas lain
Komponen ini mencakup semua benih dari tanaman pertanian yang ikut tercampur dalam contoh dan tidak dimaksudkan untuk diuji.
c. Biji-bijian herba/gulma
Merupakan bji dari tanaman lain yang tidak kehendaki, dan bublet, tuber dari tanaman yang dinyatakan sebagai gulma, herba menurut undang-undang, peraturan resmi atau pendapat umum.
d. Bahan lain atau kotoran
Merupakan bagian-bagian dari sejumlah benih yang sedang diuji yang tidak berupa benih, melainkan benda-benda mati yang hanya mengotori benih, seperti misalnya kerikil, gumpalan tanah, sekam, serta bentuk-bentuk lain yang menyerupai benih dan gulma.
Pada pelaksanaan pengujian kemurnian benih dimana komponen-komponen telah berhasil dipisah-pisahkan, yang merupakan hasil-hasil uji benih murni, benih tanaman lain dan atau varietas lain, biji-bijian herba, serta benda-benda mati atau kotoran, selanjutnya masing-masing harus ditimbang dengan seksama dengan contoh kerja dalam satuan gram (Kartasapoetra, 2003).
3. Pengujian Kadar Air
Kadar air benih selama penyimpanan merupakan faktor yang paling mempengaruhi masa hidupnya, maka benih yang sudah masak dan cukup kering penting untuk segera dipanen, atau benihnya masih berkadar air tinggi yang juga harus segerea dipanen. Kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih adalah antara 6% - 8%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan benih berkecambah sebelum ditanam. Sedang dalam penyimpanan menyebabkan naiknya aktivitas pernapasan yang dapat berakibat terkuras habisnya bahan cadangan makanan dalam benih. Selain itu merangsang perkembangan cendawan pathogen di dalam tempat penyimpanan. Tetapi perlu diingat bahwa kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan kerusakan pada embrio (Justice dan Bass, 2002).
Menurut Sutopo (2002), pada prinsipnya metode yang digunakan dalam menentukan kadar air ada dua macam yaitu :
a. Metode praktis; metode ini mudah dilaksanakan tetapi hasilnya kurang teliti sehingga sering perlu dikalibrasikan terlebih dahulu, yang termasuk metode ini adalah metode Calcium carbide, metode Electric moisture meter, dan lain-lain.
b. Metode dasar; di sini kadar air ditentukan dengan mengukur kehilangan berat yang diakibatkan oleh pengeringan/pemanasan pada kondisi tertentu, dan dinyatakan sebagai persentase dari berat mula-mula, yang termasuk dalam metode dasar adalah: metode Oven, metode Destilasi, Metode Karl Fisher dan lain-lain.
4. Uji Daya Kecambah (Viabilitas)
Pengujian viabilitas benih dipakai untuk menilai suatu benih untuk dipasarkan atau membandingkan antar seed lot karena viabilitas merupakan gejala pertama yang tampak pada benih yang menua. Daya kecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih akan kemampuan benih yumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam keadaan biofisik lapang yang serba optimum (Kuswanto, 1996).
Metode perkecambahan dengan pengujian di laboratorium hanya menentukan persentase perkecambahan total. Pengujian ini dibatasi pada pemunculan dan perkembangan struktur-struktur penting dari embrio, yang menunjukkan kemampuan untuk menjadi tanaman normal pada kondisi lapangan yang optimum. Sedangkan kecambah yang tidak menunjukkan kemampuan terssebut dinlai sebagai kecambah yang abnormal. Benih yang tidak dorman tetapi tidak tumbuh setelah periode pengujian tertentu dinilai sebagai mati (Sutopo, 2002).
Pengujian viabilitas terhadap suatu varietas perlu dicari metode standar agar penilaian terhadap atribut perkecambahan dapat dilakukan dengan mudah. Kita mengenal beberapa metode pengujian yang dapat dipakai untuk menguji viabilitas, yaitu :


a. UDK (Uji di Atas Kertas)
Pada metode pengujian ini benih diletakkan di atas kertas substrat yang telah dibasahi. Metode ini sangat baik digunakan untuk benih yang membutuhkan cahaya bagi perkecambahannya.
b. UAK (Uji Antar Kertas)
Pada metode pengujian ini benih diletakkan di antara kertas substrat. Metode ini digunakan bagi benih yang tidak peka terhadap cahaya untuk perkecambahannya.
c. UKDD (Uji Kertas Digulung Didirikan)
Pada metode pengujian ini benih diletakkan diantara kertas substrat yang digulung dan didirikan. Dapat digunakan bagi benih yang tidak peka terhadap cahaya untuk perkecambahannya.
d. UKD dpd (Uji Kertas Digulung diberi plastik didirikan)
Metode ini merupakan modifikasi dari metode UKDD, dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat kertas substrat agar tidak tembus oleh akar yang dapat mengakibatkan kertas substrat menjadi rusak sehingga pengamatan dapat jadi sulit untuk dilakukan.
e. Uji TZT (Tetra Zolim Test)
Metode ini dapat dilakukan dengan cepat. Dalam metode ini benih tidak dikecambahkan tetapi hanya direndam dengan larutan tetra zolium selama satu jam dan kemudian dinilai embrionya. Prinsip dari metode ini adalah terjadi pengecatan bagian embrio, sebagai hasil oksidasi larutan tetrazolium,
sehingga bagian embrio yang hidup akan berwarna merah sedangkan yang mati atau cacat akan berwarna putih.
f. Uji dengan Memakai Sinar X
Dengan sinar X kita bisa melihat kondisi embrio dalam benih, apakah embrionya cacat atau tidak, tapi metode ini juga tidak dapat mendeteksi apakah benih dapat berkecambah atau tidak.
g. Uji Pasir
Untuk pengujian viabilitas bisa dipakai pasir sebagai media perkecambahannya. Pada metode ini yang perlu diperhatikan adalah besarnya butiran pasir dan kadar air media, karena pasir memiliki WHC yang rendah (Kuswanto, 1996).
5. Uji Kekuatan Kecambah (Vigor)
Vigor merupakan derajat kehidupan benih dan diukur berapa benih yang berkecambah, kecepatan perkecambahan, jumlah kecambah normal, pada berbagai lingkungan yang memadai. Vigor dipisahkan antara vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda, sedangkan vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama (Kartasapoetra, 2003).
Uji kevigoran benih bertujuan untuk melihat kemampuan benih untuk tumbuh di lahan. Pengujian ini amat penting karena pada pengujian viabilitas di laboratorium kondisi lingkungannya telah dibuat seoptimal mungkin sehingga peluang bagi benih untuk berkecambah menjadi lebih besar. Pada umumnya uji vigor benih hanya sampai pada tahapan bibit. Karena terlalu sulit dan mahal untuk mengamati seluruh lingkaran hidup tanaman. Oleh karena itu digunakanlah kaidah korelasi misal dengan mengukur kecepatan berkecambah sebagai parameter vigor, karena diketahui ada korelasi antara kecepatan berkecambah dengan tinggi rendahnya produksi tanaman. Rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor genetis, fisiologis, morfologis, sitologis, mekanis dan mikrobia. (Sutopo, 2002)
Menurut Kuswanto (1996), metode pengujian vigor benih dapat dibagi menjadi 2 jenis pengujian, yaitu :
a. Pengujian Langsung (Direct Method)
Pada pengujian ini benih dikecambahkan dalam kondisi yang menyerupai keadaan di lapangan. Kelemahan metode ini terletak pada suhu pengujian yang dibuat standar. Macam-macam metodenya antara lain :
1. Deep Soil Test
2. Hoppe Method
3. Total Growth of Plants or Seedlings
b. Pengujian Tidak Langsung
Dengan metode pengujian ini mudah dibuat standarisasi tetapi tidak dapat menggambarkan kevigoran yang nyata seperti yang didapat pada metode langsung. Macam-macam metodenya antara lain :
1. Physiological Methode
2. Physical Measurements Test
3. Biochemice Method

6. Uji Kesehatan Benih
Benih dikatakan sehat kalau benih tersebut terbebas dari patogen, baik berupa bakteri, cendawan, virus, maupun nematode. Pada uji kesehatan benih tidak semuanya akan dideteksi. Uji dilakukan secara selektif, hanya yang diduga penting saja yang perlu diperiksa. Umumnya pemeriksaan ditekankan pada cendawan patogen, baik cendawan lapangan maupun cendawan gudang yang xerophytic. Uji kesehatan benih tidak merupakan ramalan, tetapi memberikan suatu informasi tentang kemungkinan adanya suatu resiko. Maksud dari uji kesehatan benih adalah untuk :
a. Mengetahui adanya inokulum yang patogenik, sehingga dapat ditentukan kondisi kesehatan dari kelompok benih, yang dalam hal ini faktor kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu nilai lapangan dari benih.
b. Mempelajari penyebab dari abnormalitas kecambah dalam uji daya kecambah.
Ada berbagai metode yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi patogen yang terbawa benih. Pada dasarnya yang telah dikenal yaitu :
a. Pemeriksaan Benih Kering
Dengan metode ini sejumlah benih diperiksa secara kering, apakah tercampur dengan kotoran-kotoran seperti sisa-sisa tanaman, sklerotia, gall, insekta dan lain-lain. Selain diperhatikan pula adanya gejala atau tanda-tanda penyakit pada benih, seperti tubuh buah cendawan, miselia, spora dan lain-lain. Dapat juga dideteksi adanya bercak-bercak pada benih dan kerusakan mekanis yang dapat menyebabkan kebusukan pada benih atau kecambah. Untuk melaksanakan pemeriksaan ini dipergunakan mikroskop stereokopik (perbesaran 10-40 kali).
b. Pemeriksaan Secara Perendaman Benih
Metode ini dapat dipergunakan untuk mendeterminasi cendawan yang melekat atau tumbuh pada permukaaan benih. Caranya adalah dengan memasukkan sejumlah benih dalam air kemudian digoyang-goyangkan untuk waktu tertentu. Air cucian tersebut dapat diperiksa langsung dengan mikroskop stereokopik (perbesaran 20-40 kali) atau setelah disentrifugal terlebih dahulu.
c. Pemeriksaan Dengan Cara Inkubasi
Pemeriksaan dengan cara inkubasi dapat dilakukan dengan beberapa meode, yaitu :
1) Metode kertas. Cara ini didasarkan pada pertumbuhan inokulum dan kecambah. Dengan cara ini dapat dilihat macamnya patogen yang menyerang benih. Pengamatan benih dan kecambah dilakukan setelah diinkubasikan pada medium kertas.
2) Metode agar. Pengujian dengan menggunakan metode agar lebih didasarkan pada pertumbuhan inokulum. Untuk keperluan media biasa dipergunakan Maltose Extract Agar (MEA) atau Potato Dextrose Agar (PDA). Metode inkubasi dengan media batubata, pasir, tanah.
3) Metode “Growing on Test”. Pengujian ini didasarkan kepada pertumbuhan tanaman setelah melewati masa kecambahnya dengan memperlihatkan gejala penyakit (Sutopo, 2002).
III. METODE PRAKTIK KERJA LAPANG
A. Waktu dan Tempat Praktik Kerja Lapang
Praktik kerja lapang ini akan dilaksanakan di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Depok, Jawa Barat. Praktik kerja lapang ini akan dilaksanakan selama 1 bulan mulai bulan Agustus 2008, setelah Usul Praktik Kerja Lapang disetujui.

B. Materi Praktik Kerja Lapang
Materi yang akan digunakan dalam praktik kerja lapang, yaitu :
1. Benih tanaman jagung ( Zea mays L. ).
2. Perlengkapan alat untuk melakukan pengujian mutu benih tanaman jagung.

C. Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapang
Metode yang digunakan dalam praktik kerja lapang adalah :
1. Observasi
Melakukan pengamatan dan peninjauan langsung ke lapangan terhadap pengujian mutu benih tanaman jagung.
2. Wawancara
Melakukan wawancara dengan staf atau peneliti, petugas lapangan, karyawan yang ada di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Depok, Jawa Barat.
3. Praktik
Mengikuti dan terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pengujian mutu benih tanaman jagung di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Depok, Jawa Barat.
4. Studi Pustaka
Mencari Informasi yang berhubungan dengan materi yang dilakukan di tempat kerja praktik melalui dokumen-dokumen dan literatur.

D. Cara Pengambilan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil survei, pengamatan, dan praktik langsung serta wawancara dengan staf atau peneliti, petugas lapangan, karyawan di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Depok, Jawa Barat mengenai pelaksanaan pengujian mutu benih tanaman jagung.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari:
a. Data informasi yang ada di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Depok, Jawa Barat.
b. Catatan, buku, dokumen dan pustaka lain yang berhubungan dengan kegiatan pengujian mutu benih tanaman jagung.


IV. GAMBARAN UMUM BBPPMBTPH
A. Lokasi dan Kondisi Wilayah BBPPMBTPH
Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06019’ – 06028’ Lintang Selatan dan 106043’ BT-106055’ Bujur Timur. Pemerintah Kota Depok merupakan bagian wilayah dari Propinsi jawa Barat yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu propinsi yaitu:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondokgede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunungsindur Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunungsindur Kabupaten Bogor.
Luas keseluruhan Kota Depok 20.504,54 ha atau 200,29 km2 yang mencakup 6 kecamatan yaitu: Kecamatan Beji, Limo, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya dan Kecamatan Pancoran Mas. Kota Depok sebagai pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pancoran Mas.
BBPPMBTPH terletak di Jl. Raya Tapos, Kotak Pos 20, Kecamatan CImanggis, Kota Depok. Berdasarkan atas elevasi atau ketinggian garis kontur, maka bentang alam daerah Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut.
Wilayah Depok termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson, musim kemarau Bulan April – September dan musim penghujan antara Bulan Oktober – Maret. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama yang ditandai oleh perbedaan curah hujan yang cukup kecil. Berdasarkan data pemeriksaan hujan tahun 1998 di Stasiun Depok, Pancoran Mas, banyaknya curah hujan bulanan berkisar antara 1 – 591 mm dan banyaknya hari hujan antara 10 – 20 hari, yang terjadi pada Bulan Desember dan Oktober. Curah hujan rata-rata bulanan sekitar 327 mm.

B. Sejarah Perkembangan
Dalam program revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, menyiratkan bahwa untuk sistem perbenihan nasional, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Peningkatan proporsi pemuliaan yang berorientasi pasar.
2. Fasilitasi penerapan sistem standardisasi nasional dalam produksi benih.
3. Peraturan yang adil dan meningkatkan insentif nyata bagi investor industri benih.
4. Pemilahan mekanisme pengendalian mutu antara benih komersial dan non komersial serta antara benih dalam bentuk biji (true seed) dan yang bentuk bibit (vegetatif).
5. Peninjauan kembali semua peraturan/perundangan yang menimbulkan disinsentif terhadap komersialisasi dan revitalisasi perbenihan.
Mengacu pada hal tersebut, maka pembangunan perbenihan nasional harus diarahkan untuk mewujudkan sistem dan usaha perbenihan/industri benih yang tangguh berbasis potensi nasional yang mampu menyediakan benih bermutu tinggi. Untuk mewujudkan hal tersebut salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan pemantapan dan pemberlakuan sistem mutu terhadap semua fungsi perbenihan.
Kemudian, dalam rangka untuk meningkatkan produksi pertanian, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan cara penggunaan benih varietas unggul yang telah disertifikasi. Tujuan dari sertifikasi benih adalah untuk menjamin kemurnian dan kebenaran varietas benih yang ditanam. Dalam proses sertifikasi tersebut, ditetapkan pula persyaratan standar minimal yang yang ditetapkan untuk menjamin mutu benih.
Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu didukung dengan standardisasi laboratorium pengujian mutu benih dan standardisasi teknis mutu benih yang diakui oleh nasional/internasional dan dapat diterapkan oleh seluruh institusi pengawasan mutu dan sertifikasi benih di seluruh indonesia. Cara penerapannya dapat melalui:
1. Penetapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) benih tanaman, baik sukarela maupun wajib.
2. Peningkatan petugas pengawas benih, sehingga mempunyai kompetensi untuk mengawasi beredarnya benih di pasar, dalam arti mempunyai kemampuan teknis dan telah mendapat sertifikasi dari lembaga personil yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
3. Laboratorium yang telah mendapat akreditasi dari KAN sesuai ruang lingkupnya.
4. Peralatan laboratorium yang memadai, terawat dan terkalibrasi.
5. Perlu adanya kesepakatan tentang standar mutu benih antar negara (MRA).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya institusi yang akan dijadikan sebagai rujukan bagi laboratorium di daerah yang fungsinya untuk :
a) Memfasilitasi hal-hal yang terkait dengan aturan perbenihan internasional.
b) Penyusunan Dokumen Sistem Mutu (SNI 19-17025-2000) untuk laboratorium benih pemerintah maupun swasta.
c) Pembinaan kompetensi (Kemampuan Profesional) laboratorium penguji mutu benih/Analis Benih/ perdagangan benih internasional.
d) Penyelesaian masalah perbedaan hasil uji laboratorium benih, baik swasta maupun pemerintah (daerah) dan pengendalian mutu benih yang beredar di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, melalui keputusan Menteri Pertanian No: 41/Permentan/OT.140/9/2006, telah dibentuk Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura sebagai Unit Pelayanan Teknis Pusat Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang secara teknis melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura.


Sebelumya BBPPMBTPH sempat berganti-ganti nama dan fungsi. Pada tahun 1982 bernama SATGAS BPSB Jawa Barat, pada tahun 2001-2003 diubah menjadi BPSB DKI, pada tahun 2003-2006 diubah menjadi BPMBTPH, dan pada tahun 2006 sampai sekarang bernama BBPPMBTPH.

C. Tugas Pokok Dan Fungsi
Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No: 41/Permentan/OT.140/9/2006, maka Tugas pokok Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura adalah Melaksanakan pengembangan pengujian mutu benih dan pemberian bimbingan teknis penerapan sistem manajemen mutu laboratorium pengujian benih tanaman pangan dan hortikultura.
Sesuai tugas pokoknya, Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura mempunyai fungsi:
a. penyusunan program dan evaluasi pengembangan pengujian mutu benih dan bimbingan teknis penerapan sistem manajemen mutu laboratorium pengujian benih.
b. pelaksanaan pengembangan teknik dan metoda pengujian laboratorium, sertifikasi, dan pengawasan peredaran benih tanaman pangan dan hortikultura.
c. pelaksanaan uji banding (uji profisiensi, unjuk kerja metode, uji arbitrase dan uji acuan) antar laboratorium pengujian benih tanaman pangan dan hortikultura.
d. pelaksanaan uji petik mutu benih tanaman pangan dan hortikultura yang beredar.
e. pelaksanaan sertifikasi benih untuk tujuan ekspor (Orange, Green and Blue Certificate).
f. pelaksanaan pemberian bimbingan teknis penerapan sistem manajemen mutu laboratorium pengujian benih tanaman pangan dan hortikultura.
g. pelaksanaan Sertifikasi Sistem Mutu dan pemberian hak penandaan SNI pada pelaku usaha perbenihan tanaman pangan dan hortikultura.
h. penyusunan informasi dan dokumentasi hasil pengembangan pengujian mutu benih dan pelaksanaan kerjasama laboratorium pengujian benih tanaman pangan dan hortikultura.
i. pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai Besar.

D. Struktur Organisasi
Untuk menunjang Tugas pokok dan Fungsinya, BBPPMBTPH memiliki perangkat organisasi struktural dan fungsional. Perangkat struktural terdiri dari1 (satu) eselon II, yaitu Kepala Balai, dan 2 (dua) eselon III, yaitu Bagian Umum dan Bidang Informasi dan Jaringan Laboratorium.
a. Bagian Umum terdiri dari 3 (tiga) unit kerja eselon IV, yaitu Sub Bagian Program dan Evaluasi, Sub Bagian Kepegawaian dan Tata Usaha, Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan.
b. Bidang Informasi dan Jaringan Laboratorium 2 (dua) unit kerja eselon IV yang meliputi, Seksi Informasi dan Dokumentasi, dan Seksi Jaringan Laboratorium.
Perangkat fungsional terdiri dari kelompok jabatan fungsional pengawas benih tanaman (PBT) yang dikoordinir oleh I (satu) koordinator fungsional yang membawahi 7 laboratorium pengujian benih, yaitu, laboratorium elektroforesis, laboratorium cendawan, laboratorium bakteri, laboratorium virus, laboratorium biologi, laboratorium nematoda, dan laboratorium fisika.
















Gambar 1. Bagan struktur organisasi BBPPMBTPH





Gambar 2. Bagan struktur organisasi laboratorium BBPPMBTPH







E. Visi dan Misi BBPPMBTPH
a. Visi
Sejalan dengan visi dan misi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura, maka Visi Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, adalah : “Menjadi lembaga terdepan dalam pengembangan pengujian mutu benih untuk mendukung sistem perbenihan Indonesia”.
b. Misi
Sehubungan dengan hal tersebut, maka disusun misi utama dari Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBPPMBTPH) sebagai berikut :
1. Meningkatkan kompetensi kelembagaan Balai Besar PPMBTPH.
2. Mewujudkan standardisasi laboratorium penguji benih.
3. Menerapkan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk perbenihan.
4. Meningkatkan pelayanan dan informasi dalam pengembangan pengujian mutu benih.







V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan analisis benih adalah untuk mengetahui kualitas benih, meliputi kualitas genetis, morfologis, dan fisiologis benih. Analisis benih dilaksanakan dalam rangka pemberian sertifikat sebelum benih tersebut dipasarkan, agar petani pengguna benih memperoleh benih yang baik ban benar.
Kondisi benih yang beredar di Indonesia sangat variatif tingkat mutunya, baik benih yang berasal dari produsen dalam negeri (lokal) maupun luar negeri (impor), banyak benih yang ditemukan sudah kadaluarsa, mutunya tidak sesuai standar yang ditetapkan, sehingga tidak layak ditanam dan akibatnya sangat merugikan petani. Untuk itu sangat diperlukan pengawasan dan pengendalian mutu produk melalui penerapan standarisasi sistem manajemen mutu yang bertaraf internasional baik pada saat produksi (tingkat lapang) maupun di tingkat laboratorium. Dalam sistem sertifikasi benih, acuan yang dipergunakan adalah OECD SCHEME, ISO/IEC 17025-2005 dan ISTA Rules serta acuan lain yang relevan.
Kegiatan utama yang dilaksanakan di BBPPMBTPH yaitu pengujian benih laboratorium. Pengujian laboratorium bertujuan mendapatkan keterangan mengenai suatu contoh benih. Benih yang diuji di Balai Besar PPMBTPH yaitu berasal dari pembelian benih dari kios-kios atau langsung dari perusahaan benih yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu benih berasal dari permintaan pelanggan yang ingin mengetahui keterangan mutu dari benih tersebut.
Pengujian benih yang dilakukan di laboratorium terdiri dari pengujian standar dan pengujian khusus. Pengujian standar yaitu pengujian yang dilakukan untuk keperluan pengisian label atau pengecekan data label. Pengujian ini umumnya terdiri dari penetapan kadar air, pengujian kemurnian fisik, dan pengujian daya berkecambah. Pengujian khusus yaitu pengujian mengenai sifat-sifat dari benih yang mencirikan mutu spesifik dari benih yang diuji, pengujian ini dilakukan atas permintaan dari pelanggan. Salah satu contoh pengujian khusus yaitu pengujian kesehatan benih yang diujikan pada beberapa laboratorium yaitu laboratorium cendawan, laboratorium bakteri, laboratorium virus, dan laboratorium nematoda.
Acuan yang digunakan dalam pengujian benih di laboratorium BBPPMBTPH yaitu sesuai dengan standar ISTA yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Pengujian benih dilakukan dengan berat contoh kerja sesuai dengan standar dan proses pengambilan benih yang telah ditetapkan.

A. Pengambilan Contoh Benih
Pengambilan contoh benih bertujuan untuk mendapatkan contoh dalam jumlah yang sesuai untuk pengujian dan mempunyai komposisi komponen yang sama dengan lot benihnya. Pada prinsipnya pengambilan contoh benih merupakan perolehan contoh komposit dari lot benih dengan mengambil contoh primer dari berbagai posisi lot benih kemudian digabungkan. Dari contoh komposit ini, didapatkan sub-contoh dengan menggunakan prosedur pengurangan contoh secara bertahap untuk menghasilkan contoh kirim dan akhirnya contoh kerja untuk pengujian.
Berat minimum sample yang diperlukan berbeda-beda, tergantung dari j8umlah benih yang akan diujikan tersebut, perhitungan yang lazim digunakan minimal 10 kali contoh kerja yang murni, dengan ketentuan tidak kurang dari 25 gram, sedangkan untuk memudahkan sebaiknya tidak lebih dari 1kg (Kartasapoetra, 2003).
Pada komoditas Jagung (Zea mays) memiliki volume lot maksimal sebesar 40.000 Kg, berat contoh kirim sebesar 1.000 gram, berat contoh kerja analisis kemurnian sebesar 900 gram, dan berat contoh kerja penetapan benih lain berdasarkan jumlah sebesar 1.000 gram.

B. Analisis Kemurnian Benih
Pada prinsipnya analisis kemurnian di laboratorium ialah memisahkan contoh benih dalam 3 (tiga) komponen yaitu komponen benih murni, benih tanaman lain dan kotoran benih. Selanjutnya komponen tersebut dipersentasekan berdasarkan beratnya.
Tujuan dari analisis kemurnian benih antara lain:
1. Untuk menentukan persentase komposisi (berdasarkan berat) contoh yang diuji dan berdasarkan fakta untuk menentukan komposisi lot benih.
2. Mengidentifikasi berbagai spesies benih dan kotoran benih dalam contoh benih.


Contoh kerja kemurnian diambil dari contoh kirim dengan menggunakan alat pembagi benih yaitu soil divider. Jika akan dilakukan analisis simplo maka pengambilan contoh kerja dilakukan hanya satu kali. Kemudian contoh kerja ditimbang dalam satuan gram dengan ketentuan desimal penimbangan yang telah ditentukan. Pada benih jagung berat contoh kerja sebesar < 1.000 gram dengan desimal penimbangan sebesar 4.
Menurut Sutopo (2002), analisis kemurnian benih biasanya dilakukan secara duplo. Beda antara hasil ulangan pertama dan kedua tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah dari 5 %. Setiap komponen ditimbang lalu ditotal, di mana berat total seharusnya sama dengan berat mula-mula keseluruhan contoh uji untuk kemurnian, tetapi bisa juga kurang. Persentase dari setiap komponen didapatkan dari berat masing-masing komponen dibagi berat total kali 100%. Hasilnya ditulis dalam 2 desimal (dua angka dibelakang koma).
Melakukan analisis kemurnian dengan memisahkan contoh kerja dalam komponen benih murni, benih tanaman lain dan kotoran benih, dengan prosedur sebagai berikut :
a. Contoh kerja kemurnian ditebarkan di meja kerja.
b. Setiap benih diidentifikasikan satu persatu secara visual berdasarkan penampakan morfologi (bentuk, ukuran, warna, kemengkilapan, tekstur bagian luar) dan atau penampakan di bawah cahaya.
c. Semua benih tanaman lain dan kotoran benih yang ditemukan, diambil dan dipisahkan dari benih murni.
d. Setiap komponen ditimbang dalam satuan gram dengan tingkat ketelitian sama dengan contoh kerja dan hasilnya dicatat pada buku Analisa kemurnian. Kemudian datanya dimasukkan ke kartu pengujian.
e. Komponen-komponen tersebut disimpan sebagai arsip contoh kerja sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Kemudian setelah dianalisis, dilakukan perhitungan dengan prosedur sebagai berikut :
a. Berat ketiga komponen yang ditemukan dijumlahkan. Dibandingkan dengan berat contoh kerja awal. Jika terdapat kehilangan berat lebih besar 5% dari berat contoh kerja awal maka harus dilakukan pengulangan analisis.
b. Dibuat persentase masing-masing komponen dalam 1 desimal. Persentase ketiga komponen tersebut dijumlahkan. Jumlah total harus 100,0%. Jika jumlah tersebut tidak 100,0% (99,9% maupun 100,1%) maka harus dilakukan penambahan atau pengurangan 0,1% pada persentase tertinggi (biasanya pada fraksi benih murni). Apabila lebih dari 0,1% maka perlu dilakukan pengecekan terhadap kesalahan.

C. Penetapan Kadar Air Benih
Tujuan penetapan kadar air ini adalah untuk menentukan kadar air benih dengan menggunakan metode yang sesuai untuk pengujian rutin. Kadar air benih adalah berat yang hilang karena pengeringan yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan kadar air benih dalam persentase terhadap berat awal contoh benih.
Metode yang digunakan pada penetapan kadar air benih ini harus memungkinkan penguapan air sebanyak mungkin, tetapi dapat menekan terjadinya oksidasi, dekomposisi atau hilangnya zat-zat yang mudah menguap.
Penetapan kadar air benih dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu menggunakan oven suhu konstan dan alat pengukur kadar air (moisture meter). Pada praktik di Laboratorium yang sering digunakan adalah menggunakan oven suhu konstan. Prosedur penetapan kadar air dengan menggunakan oven suhu konstan antara lain :
1) Contoh kirim
Contoh kirim untuk penetapan kadar air dapat diterima untuk diuji bila kondisinya utuh (belum dibuka) dan dimasukkan dalam wadah kedap udara serta sebanyak mungkin udara dikeluarkan. Penetapan kadar air dilaksanakan sesegera mungkin setelah benih diterima. Selama pengujian, untuk contoh benih yang tidak perlu dihancurkan tidak boleh lebih dari 2 (dua) menit waktu pemindahan sample dari wadah sampai benih siap dimasukkan ke wadah pengeringan. Berat minimum contoh kirim penetapan kadar air untuk benih yang harus dihancurkan adalah 100 gram dan yang tidak perlu dihancurkan adalah 50 gram.
2) Penimbangan
Penimbangan dinyatakan dalam gram dengan ketelitian 3 (tiga) desimal.



3) Contoh Kerja
Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) ulangan yang pengambilan contohnya secara terpisah, dan berat contoh tergantung diameter wadah yang digunakan.
Tabel 1. Ukuran Diameter Wadah
Ukuran diameter wadah Berat contoh kerja
< 8 cm 4-5 gram
≥ 8 cm 10 gram

Sebelum pengambilan contoh kerja, contoh kirim harus diaduk dan dicampur menggunakan salah satu metode dibawah ini :
a) Aduk contoh dalam wadah dengan menggunakan sendok atau ;
b) Buka tutup wadah serupa yang kosong kemudian mulutnya didekatkan dengan wadah yang berisi benih kemudian dituangkan bolak balik diantara 2 (dua) wadah tersebut sehingga tercampur.
Pengambilan contoh kerja tidak boleh berhubungan dengan udara, dan waktu yang dibutuhkan untuk mengambil contoh tidak boleh lebih dari 30 detik.
4) Menghancurkan Benih
Benih yang besar harus dijadikan partikel (bagian-bagian) yang lebih kecil dengan cara digiling. Pengecualian bagi benih yang kandungan minyaknya sangat tinggi hingga sulit digiling atau yang minyaknya mengandung iodium tinggi, karena kemungkinan akan terjadi penambahan berat akibat oksidasi dari minyak selama pemanasan sehingga menyebabkan adanya kesalahan pada penetapan kadar air. Benih jagung merupakan salah satu jenis benih yang harus dihancurkan.
Peralatan yang diperlukan sesuai dengan metode yang digunakan antara lain:
a) Alat penghancur benih (Grinding Mill) yang diatur dan memenuhi persyaratan:
(1) Konstruksi bahan yang digunakan tidak mengabsorbsi air disekitarnya, sehingga baik benih sebelum maupun sesudah dihancurkan kadar airnya tidak mengalami perubahan.
(2) Kecepatan putaran yang tinggi dari alat hendaknya jangan menimbulkan panas.
(3) Kecepatan putaran dapat diatur sehingga besar partikel yang dihasilkan sesuai dengan ketetapan yang ditentukan.
b) Oven dengan suhu konstan
Oven yang digunakan adalah ovan listrik yang dilengkapi dengan thermostat dan thermometer dengan ketelitian 0,5°C. Termostat mempunyai fungsi mengontrol suhu sesuai dengan yang dikehendaki. Apabila terjadi perubahan suhu, misalnya karena oven dibuka saat memasukkan wadah kedalamnya, maka dalam waktu 15 menit kemudian, oven harus dapat mencapai suhu semula.
c) Wadah
Bahan yang digunakan sebagai wadah adalah bahan metal yang tahan karat atau bahan porselen gelas dengan tebal 0,55 mm, mempunyai tutup yang rapat untuk menghindari kehilangan dan penambahan uap air dari udara. Bagian sisi dari wadah tersebut bundar dan bagian bawahnya datar. Wadah dan tutup harus diberi nomor yang sama supaya jangan salah pasangannya, karena pada waktu damasukkan dalam oven wadah harus dibuka (wadah dan tutup kedua-duanya dimasukkan dalam oven). Sebelum digunakan wadah dikeringkan dahulu dalam oven 130°C selama 1 jam dan didinginkan dalam deksikator.
d) Penjepit asbes dan sarung tangan
Alat ini digunakan untuk memasukkan dan mengeluarkan wadah dari oven.
e) Deksikator
Diameter deksikator berkisar antara 20-30 cm. Di bagian tengah terdapat logam atau porselen untuk meletakkan wadah benih. Bagian bawah diisi dengan penterap/desikan misalnya phosphorus pentoxida (silika gel) atau alumina aktif. Jika desikan tersebut sudah lembab maka harus dipanaskan dalam oven selama 1 (satu) jam dengan suhu 130°C atau desikan tersebut diganti.
f) Timbangan analitik
Timbangan yang digunakan mempunyai satuan ukuran dalam gram dengan ketelitian tiga desimal (mampu menimbang hingga 0,001 gram).
g) Saringan
Saringan yang digunakan berukuran mesh 0,50 mm, 1,00 mm dan 4,00 mm.



Pada penetapan kadar air benih jagung metode yang digunakan adalah metode oven dengan suhu tinggi konstan (130-133)°C. Penetapan kadar air dengan metode ini dilakukan dengan cara :
1. Alat dan cawan dibersihkan sebelum dipakai, jika wadah (cawan dan tutup) basah maka dipanaskan terlebih dahulu dengan oven suhu 130°C selama 1 (satu) jam, kemudian didinginkan dalam desikator.
2. Oven dihidupkan dan diatur suhunya hingga mencapai (130-133)°C;
3. Timbang cawan dan tutup sebelum digunakan (M1).
4. Lakukan penghancuran ukuran benih yang besar dengan cara penggilingan dengan grinder.
5. Timbang contoh kerja sesuai dengan diameter wadah.
6. Masukkan contoh kerja kedalam cawan dan ditimbang beserta tutupnya (M2).
7. Masukkan cawan berisi contoh kerja dan tutup tersebut ke dalam oven.
8. Buka tutup cawan, dan letakkan masing-masing tutup cawan disampingnya.
9. Keringkan pada suhu (130-133)°C selama 4(empat) jam.
10. Bila sudah selesai, cawan ditutup keluarkan dari oven dan didinginkan di dalam deksikator selama (30-45) menit.
11. Timbang cawan beserta isi dan tutup (M3).
12. Hitung kadar air benih.
Kadar air benih dinyatakan dalam persen terhadap berat semula dengan ketelitian satu desimal. Apabila menggunakan metode oven, rumus yang digunakan adalah :
(M1 – M2) x 100
(M2-M1)
M1 = berat wadah + tutup dalam gram
M2 = berat wadah + tutup + isi dalam gram sebelum dikeringkan
M2 = berat wadah + tutup + isi dalam gram setelah dikeringkan
Tabel 2. Data Kadar Air Benih Jagung
Suhu Waktu Skala Grinder No Cawan Berat (gr) Kadar Air (%)
M1 M2 M3 M2-M3 M2-M1
130-133°C 4 jam 1 29a 57,956 62,437 61,903 0,534 4,481 11,9
29b 47,144 51,727 51,180 0,547 4,583 11,9

Untuk mengatasi masalah perubahan kadar air benih, setelah benih diproses dengan kadar air tertentu maka benih tersebut harus dikemas dengan bahan pengemas yang dapat mempertahankan kadar airnya untuk jangka waktu tertentu. Benih tersebut harus disimpan di ruangan dengan persentase RH tertentu agar kadar airnya tetap stabil (Kuswanto,1997).

D. Pengujian Daya Berkecambah Benih
Untuk menentukan potensi berkecambah maksimum dari suatu lot benih, yang dapat digunakan untuk membandingkan mutu benih dari lot yang berbeda dan untuk menduga mutu benih sebagai bahan tanam (the field planting value).
Pengujian pada kondisi lapang biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena tidak dapat diulang dengan hasil yang akurat. Oleh karena itu, metode pengujian di laboratorium telah dikembangkan dimana kondisi lingkungan dikendalikan sedemikian rupa untuk mendapatkan tingkat perkecambahan yang optimal pada lot benih jenis tanaman tertentu.
Yang dimaksudkan dengan perkecambahan benih dalam pengujian laboratorium adalah muncul dan berkembangnya kecambah hingga mencapai stadia dimana bagian dari struktur-struktur esensialnya menunjukkan kemampuan kecambah tersebut untuk berkembang lebih lanjut menjadi tanaman normal dalam kondisi optimum.
Kecambah normal memperlihatkan potensi untuk berkembang menjadi tanaman normal bila ditumbuhkan pada tanah yang baik dan dibawah kondisi kelembaban, suhu dan cahaya yang optimum. Untuk dikelompokkan sebagai kecambah normal, setiap kecambah harus sesuai dengan salah satu criteria berikut:
a. Kecambah utuh: kecambah dengan semua struktur esensialnya berkembang baik, lengkap, seimbang (proposional) dan sehat.
b. Kecambah dengan cacat ringan: kecambah yang menunjukkan cacat ringan pada struktur esensialnya, namun bagian-bagian lainnya menunjukkan perkembangan normal yang serupa dengan perkembangan kecambah utuh pada pengujian yang sama.
c. Kecambah dengan infeksi sekunder: kecambah yang terbukti sesuai dengan kategori a atau b di atas, tapi terinfeksi oleh cendawan atau bakteri yang berasal dari sumber lain (misal tertular dari benih disekitarnya), selain itu ‘dari benih induk’. (the parent seed, yaitu benih tempat cendawan tumbuh).
Kecambah abnormal tidak memperlihatkan potensi untuk berkembang menjadi tanaman normal, bila ditumbuhkan pada tanah yang baik dan di bawah kondisi kelembaban, suhu, dan cahaya yang optimum.
Kecambah dengan kriteria berikut ini dikelompokan sebagai kecambah abnormal :
a. Kecambah rusak : kecambah dengan struktur esensialnya hilang atau rusak parah sehingga bagian-bagian esensial tersebut secara proposional.
b. Kecambah yang berubah bentuk atau tidak proposional : kecambah dengan pertumbuhan yang lemah atau mengalami gangguan fisiologis, atau struktur esensialnya berubah bentuk atau tidak proposional.
c. Kecambah busuk : kecambah yang salah satu struktur esensialnya terkena penyakit atau busuk akibat infeksi primer sehingga menghambat perkembangannya menjadi kecambah normal.
Pengujian daya berkecambah harus dilakukan terhadap benih murni. Definisi benih murni untuk spesies yang diuji harus diterapkan. Benih murni dapat diambil dari fraksi benih murni pada analisis kemurnian atau fraksi yang mewakili contoh kirim.
Pada pengujian daya berkecambah ini media yang digunakan adalah substrat. Substrat tersebut bermacam-macam jenisnya diantaranya kertas, pasir, dan media organik. Pada pengujian daya berkecambah benih jagung substrat yang digunakan adalah kertas substrat. Kertas terbuat dari serat kayu, kapas atau selulosa nabati yang telah dipurifikasi, contoh berupa kertas filter, blotter atau towel. Dalam penggunaan kertas substrat tersebut memiliki beberapa syarat, yaitu:
a. Partikel dari substrat harus mempunyai kemampuan untuk menahan air secukupnya untuk secara terus menerus memenuhi kebutuhan air bagi benih dan kecambah, serta memberikan cukup pori-pori untuk aerasi yang diperlukan bagi perkecambahan dan pertumbuhan akar optimum.
b. Kertas substrat harus mempunyai nilai pH antara 6.0-7,5.
c. Kertas substrat tetap ulet atau kuat selama jangka waktu pengujian.
d. Media pertumbuhan harus bebas dari benih, cendawan, bakteri atau zat beracun yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih, pertumbuhan kecambah atau evaluasinya.
e. Penyimpanan kertas di tempat yang dingin dengan kelembaban rendah, dikemas untuk melindungi dari kotoran dan kerusakan selama disimpan.
f. Perlu dilakukan sterilisasi untuk menghilangkan cendawan selama penyimpanan.
g. Substrat hanya digunakan satu kali.
Pada pengujian daya berkecambah benih jagung digunakan metode AK atau Antar Kertas (Between Paper). Metode tersebut dilakukan dengan cara benih ditabur di antara dua lapis kertas basah sebanyak 25 butir lalu dilipat atau digulung kemudian dimasukkan dalam kantong plastik atau diletakkan di baki dalam germinator dalam posisi mendatar atau berdiri. Menurut Kartasapoetra (2003), dalam pengujian metode Antar Kertas (Between Paper) digunakan beberapa lembar kertas substrat yang dibasahi secukupnya, selanjutnya benih-benih yang akan diuji ditata atau ditanam pada setengah bagian kertas substrat kemudian dilipat lalu dimasukkan ke dalam bak bagi perkecambahan dengan diperhatikan agar kelembaban substrat tetap terpelihara. Jika benih yang diuji ukurannya sebesar biji padi digunakan sebanyak 100 butir, sedangkan jika ukurannya sebesar biji jagung digunakan biji sebanyak 50 butir.
Peralatan yang digunakan dalam pengujian daya berkecambah ini antara lain:
a. Alat penghitung benih (Counting Boards)
b. Germinator kabinet atau germinator elektrik
c. Ruang perkecambahan
d. Meja daya berkecambah
Pada pengujian daya berkecambah kelembaban dan aerasi harus tetap terjaga. Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin media tidak kering diluar dan cukup air untuk mensuplai secara terus-menerus selama periode pengujian. Penambahan air sedapat mungkin dihindari karena dapat menyebabkan variasi antar ulangan dan antar pengujian. Untuk pengujian antar kertas harus diperhatikan dalam pengambilan pembungkus dan kertas towel yang cukup longgar agar air cukup di antara benih.
Suhu optimum yang diperlukan pada pengujian daya berkecambah benih jagung yaitu 25° C atau 20°C dan dapat juga menggunakan suhu berganti 20-30° C yang berarti menggunakan suhu rendah (20°C) selama 16 jam dan suhu tinggi (30°C) selama 8 jam. Perubahan dari satu suhu ke suhu berikutnya paling lambat 3 jam, tetapi sebaiknya ≤ 1 jam.
Pada umumnya benih akan berkecambah baik dengan cahaya maupun dalam gelap. Akan tetapi disarankan adanya pencahayaan dari sinar matahari atau cahaya buatan untuk pertumbuhan yang lebih baik, sehingga lebih mudah dievaluasi.
Pada pengujian daya berkecambah benih jagung dilakukan evaluasi terhadap masing-masing benih. Pengamatan pertama dilakukan pada hari keempat dan pengamatan terakhir dilakukan pada hari tujuh.
Evaluasi kecambah dilaksanakan terhadap kecambah yang tumbuh dengan kondisi optimum di laboratorium. Untuk dapat diklasifikasikan sebagai kecambah normal, kecambah harus memenuhi salah satu kategori berikut :
a. Kecambah dengan pertumbuhan sempurna
Kecambah yang semua struktur esensialnya berkembang dengan baik, lengkap, proposional (seimbang) dan sehat. Kecambah dengan pertumbuhan sempurna tergantung pada jenis benih yang diuji.
b. Kecambah dengan kerusakkan ringan
Kecambah yang memperlihatkan terjadinya kerusakkan ringan terutama pada struktur esensialnya, dengan kerusakan yang dapat diperbaiki sehingga kecambah berkembang normal dan seimbang, sebagaimana kecambah normal pada pengujian yang sama.
c. Kecambah dengan infeksi sekunder
Kecambah yang termasuk kriteria ini merupakan kecambah yang terserang cendawan atau bakteri yang bukan berasal dari benih tersebut dan bila struktur penting kecambah masih ada (normal).

d. Kecambah abnormal
Kecambah yang termasuk abnormal merupakan kecambah yang mengalami kombinasi kerusakkan pada bagian-bagian penting kecambah yaitu seperti akar primer, hipokotil, kotiledon, daun primer, tunas pucuk.
Tabel 3. Data Daya Berkecambah Benih Jagung No. Lab 860
Ulangan @ 100 Kecambah Normal Kecambah Abnormal Biji Keras Biji Segar Tidak Tumbuh Benih Mati
1 94 4 0 0 2
2 95 3 0 0 2
3 95 3 0 0 2
4 95 2 0 0 3
Jumlah 379 12 0 0 9
Rata-rata 94,75 3,00 0,00 0,00 2,25


Tabel 4. Data Daya Berkecambah Benih Jagung No. Lab 861
Ulangan @ 100 Kecambah Normal Kecambah Abnormal Biji Keras Biji Segar Tidak Tumbuh Benih Mati
1 88 1 0 0 11
2 97 0 0 0 3
3 90 3 0 0 7
4 94 4 0 0 2
Jumlah 369 8 0 0 22
Rata-rata 92,25 2,00 0,00 0,00 5,75


Tabel 5. Data Daya Berkecambah Benih Jagung No. Lab 862
Ulangan @ 100 Kecambah Normal Kecambah Abnormal Biji Keras Biji Segar Tidak Tumbuh Benih Mati
1 90 5 0 0 5
2 94 4 0 0 2
3 93 4 0 0 3
4 93 2 0 0 5
Jumlah 370 15 0 0 15
Rata-rata 92,5 3,75 0,00 0,00 3,75


E. Indeks Vigor Benih
Pengujian vigor bertujuan untuk mendapatkan nilai daya tumbuh (planting value) benih atau lot benih pada kondisi lingkungan yang sub optimum. Pengujian ini memberikan informasi tambahan selain pengujian daya berkecambah.
Vigor adalah sejumlah sifat-sifat benih yang mengindikasikan pertumbuhan dan perkembangan kecambah yang cepat dan seragam pada cakupan kondisi lapang yang luas. Indeks vigor benih dapat memberikan indeks mutu benih yang lebih peka daripada pengujian daya berkecambah serta dapat mengetahui informasi tingkatan yang konsisten tentang potensi mutu fisiologis dan fisik dari lot benih yang acceptable germination.
Vigor benih tidak hanya mengukur sifat tunggal, tetapi merupakan sejumlah sifat yang menggambarkan beberapa karakterristik yang berhubungan dengan penampilan suatu lot benih berikut:
a. Kecepatan dan keserempakkan berkecambah dan pertumbuhan kecambah;
b. Kemampuan munculnya titik tumbuh kecambah pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan;
c. Kemampuan benih untuk berkecambah setelah mengalami penyimpanan.
Pada pengujian indeks vigor benih jagung digunakan metode AK atau Antar Kertas (Between Paper). Metode tersebut dilakukan dengan cara benih ditabur di antara dua lapis kertas basah lalu dilipat atau digulung kemudian dimasukkan dalam kantong plastik atau diletakkan di baki dalam germinator dalam posisi mendatar atau berdiri. Pada pengujian ini dilakukan 8 (delapan) kali ulangan.
Pada indeks vigor benih pengamatan dilakukan pada hari empat. Pada hasil pengamatan didapatkan indeks vigor pada benih jagung didapat persentase rata-rata sebesar 87,75%, 86%, dan 89,25%. Menurut Kartasapoetra (2003), pada pengujian indeks vigor dalam penilaiannya digunakan persentase benih yang berkecambah pada hari ketiga atau keempat setelah masa tanamnya. Jadi perhitungan pada hari ketiga atau keempat tersebut merupakan perhitungan pertama indeks vigor benih. Dan apabila perhitungan pertama tersebut ternyata benih yang berkecambah normal adalah berjumlah lebih dari 75% dari keseluruhan benih yang disemaikan maka persentase indeks vigor benih itu tinggi.

F. Pengujian Kesehatan Benih
Kesehatan benih ditandai oleh ada tidaknya penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti cendawan, bakteri, virus, dan penyakit yang disebabkan oleh hewan termasuk nematode dan serangga, tetapi kondisi fisiologis karena kekurangan unsure mikro, juga terlibat.
Tujuan dari pengujian kesehatan benih adalah untuk menentukan status (keadaan) kesehatan contoh benih dan menunjukkan status kesehatan lot benih darimana benih tersebut berasal. Pengujian kesehatan benih mempunyai empat kepentingan:
1. Inokulum yang terbawa benih dapat berkembang menjadi penyakit yang menyerang pertanaman di lapang sehingga mengurangi nilai komersialnya.
2. Benih-benih yang didatangkan ke daerah baru kemungkinan mengintroduksikan penyakit-penyakit ke daerah tersebut. Untuk itu tindakan karantina dan sertifikasi (kesehatan benih) sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pulau ke pulau lain dan dari benua ke benua lain.
3. Pengujian kesehatan benih mungkin dapat menjelaskan evaluasi kecambah dan penyebab rendahnya persentase daya berkecambah atau buruknya pertumbuhan benih di lapang, sehingga akan menjadi pelengkap uji daya berkecambah.
4. Hasil pengujian kesehatan benih dapat memberikan cara perlakuan khusus (treatment) dalam suatu lot benih untuk mengendalikan pathogen terbawa benih atau mengurangi resiko penyebaran penyakit.
Tujuan pengujian kesehatan benih menurut Kuswanto (1997), yaitu:
1. Untuk mengetahui apakah dalam benih terdapat mikroorganisme yang bersifat patogen.
2. Untuk mengetahui apakah pada benih terdapat nematoda.
3. Untuk mengetahui kesehatan benih secara fisiologis.
4. Untuk membandingkan antar seed lot.
5. Untuk menentukan jenis inokulum yang menginfeksi benih.
6. Untuk mengevaluasi kesehatan benih sebelum disebarkan ke berbagai tempat untuk usaha tani.
7. Untuk mengevaluasi efek dari pestisida yang dipakai untuk perawatan benih.
8. Untuk mengevaluasi usaha pemberantasan penyakit yang disebabkan oleh benih di lapangan.
9. Untuk survei penyakit benih tingkat regional atau nasional guna mendeteksi penyebarannya.
10. Untuk tujuan karantina dalam rangka mencegah masuknya penyakit benih dan sekaligus mencegah terjadinya penyebaran-penyebaran penyakit benih tersebut.
a. Pengujian Pada Laboratorium Bakteri
Berbagai jenis bakteri pathogen tanaman yang berbahaya perlu diwaspadai. Bakteri yang terbawa produk pertanian kadangkala tidak dapat ditunjukkan oleh gejala penyakit yang ditimbulkannya, apabila populasi atau virulensinya rendah. Apabila pathogen tersebut berada dalam bahan tanaman dan menimbulkan infeksi, maka akan sangat potensial sebagai sumber inokulum bagi penularan penyakit. Bakteri merupakan penyebab penyakit penting pada berbagai komoditas pertanian yang dibudidayakan.
Dalam pengujian bakteri diperlukan media tumbuh serta peralatan dan ruang kerja yang steril. Apabila media yang digunakan sudah steril, tetapi peralatan atau ruang kerja kurang steril atau sebaliknya, kemungkinan besar akan terjadi kontaminasi, sehingga menimbulkan kesulitan dalam pembacaan hasil.
Pada pengujian kali ini media yang digunakan adalah media agar dalam cawan Petri. Ekstraksi dan isolasi bakteri benih jagung menggunakan metode liquid assay. Prosedur kerja ekstraksi dan isolasi sebagai berikut:

1) Hitung 400 butir benih jagung.
2) Timbang 100 butir, lalu hiung bobot 1000 biji dan tentukan kebutuhan air.
3) Benih diekstraksi dengan merendam benih menggunakan air steril.
4) Hasil ekstraksi diinkubasikan selama 2 (dua) jam.
5) Cairan yang bening yang diperoleh diambil sebagai larutan stok. Setelah diencerkan, cairan ditaburkan pada media agar.
6) Media yang telah diinokulasi diinkubasikan pada suhu 28-30°C selama 2-3 hari.
7) Koloni yang diduga sebagai pathogen target dimurnikan pada media dasar (King’s B), kemudian diinkubasi pada suhu 28-30°C selama 2-3 hari
8) Isolat yang didapat selanjutnya diidentifikasi berdasarkan karakter fisiologi dan biokimia.
Selanjutnya dilakukan identifikasi bakteri pathogen dengan beberapa cara yaitu Reaksi gram, Uji hidrolisa pati, dan Uji Katalase. Pada benih jagung dapat dideteksi bakteri yang muncul adalah Xanthomonas.
a) Reaksi Gram
Reaksi gram dapat digunakan untuk membedakan antara bakteri gram positif dan gram negative. Karakteristik reaksi gram berhubungan dengan sifat-sifat struktur dan kimia dari dinding sel. Karakter tersebut merupakan dasar identifikasi bakteri pathogen tanaman. Prosedur reaksi gram ini antara lain:
1. Teteskan larutan KOH 3% sebanyak dua tetes pada gelas objek.
2. Campurkan satu lup isolat murni (umur 24-48 jam) bakteri yang akan diuji.
3. Apabila kurang dari 10 detik pada campuran terbentuk lender berarti bakteri tersebut bersifat gram negative, sebaliknya apabila tidak terbentuk lendir berarti bakteri bersifat gram positif.
Pada pengamatan pada bakteri Xanthomonas ini didapatkan bakteri yang bersifat gram negative.
b) Uji Hidrolisis Pati
Uji hidrolisis pati digunakan untuk menilai kemampuan suatu organisme menghidrolisis pati melalui aktifitas enzim. Untuk mendeteksi adanya hidrolisis pati dapat dilakukan dengan menggunakan larutan iodine. Pati yang ada dalam media jika diberi larutan iodine akan bereaksi dan membentuk warna biru. Selama reaksi enzim berlangsung maka polisakarida besar (pati) terpecah menjadi unit yang lebih kecil (terhidrolisis) yang tidak bereaksi dengan iodine. Oleh karena itu bagian yang terhidrolisis menjadi tidak berwarna atau bening. Prosedur uji hidrolisis pati ini antara lain:
1. Isolat bakteri diinokulasikan pada media NA Strarch dalam cawan Petri dan diinkubasikan pada suhu 28°C selama 4 hari.
2. Setelah dinkubasi, biarkan disiram dengan larutan Lugol’s iodine. Reaksi negative jika media disekeliling bakteri berubah menjadi biru yang menunjukkan bahwa pati yang ada dalam media tidak terhidrolisis. Reaksi dinyatakan posistif jika media di sekitar koloni bakteri berubah menjadi kekuningan atau terdapat zona bening.
Pada pengamatan didapatkan sifat bakteri yang positif karena pada media disekitar koloni bakteri terdapat zona bening.
c) Uji Katalase
Prosedur uji katalase ini antara lain:
1. Satu lup bakteri dioleskan pada gelas obyek dan ditetesi dengan satu tetes aquadest steril;
2. Selanjutnya larutan H2O2 3% diteteskan pada suspensi bakteri tersebut;
3. Adanya gelembung-gelambung gas menunjukkan reaksi positif.
Pada pengamatan terdapat gelembung-gelembung gas pada saat diteteskan H2O2 3%, hal ini menunjukkan reaksi positif.
b. Pengujian Pada Laboratorium Virus
Virus tanaman hanya memperbanyak diri dalam sel-sel inangnya. Proses perbanyakan dirinya mampu menyebabkan gangguan pada aktivitas fisiologis tanaman sehingga menyebabkan suatu penyakit. Dengan demikian virus tersebut disebut sebagai pathogen.
Metode yang digunakan dalam pengujian virus adalah dengan menginokulasi tanaman inang (jagung) dengan sumber inokulum. Prosedur kerjanya antara lain:
1. Benih tanaman jagung ditabur di seed box.
2. Kemudian dilakukan perawatan terhadap tanaman sampai tanaman berumur 10 (sepuluh) hari.
3. Setelah 10 (sepuluh) hari tanaman indikator di inokulasi dengan sumber inokulum.
4. Lihat gejalanya setelah 5 (lima) hari.

Prosedur pengerjaan inokulasi antara lain:
1. Tanaman sumber inokulum diekstraksi pada cawan yang sudah steril.
2. Permukaan daun tanaman indikator dilukai dengan menggunakan carborundum (serbuk) dengan tujuan agar kandungan virus yang terdapat dalam sumber inokulum dapat masuk dalam tanaman indikator.
3. Oleskan ekstrak tersebut dengan rata secara searah.
4. Permukaan daun yang telah dioleskan dibersihkan dengan akuades untuk membersihkan sisa-sisa carborundum.
c. Pengujian Pada Laboratorium Nematoda
Nematoda merupakan binatang mikroskopik menyerupai cacing atau belut yang jumlahnya sangat melimpah di biosfer bumi. Hingga saat ini dilaporkan lebih dari 1200 (seribu dua ratus) spesies nematode dapat merusak tanaman dan perkiraan kehilangan hasil tanaman oleh parasit ini di seluruh dunia mencapai 70 (tujuh puluh) milyar dolar amerika. Nematoda parasit tumbuhan sebagai pengganggu tanaman pada umumnya digolongkan sebagai pathogen, yaitu penyebab penyakit. Hal ini disebabkan gangguan yang ditimbulkan mengakibatkan tanaman sakit sepeti yang ditimbulkan oleh pathogen.
Tahap-tahap ekstraksi nematoda dari benih (sampel jaringan) , antara lain:
1. Benih yang akan diuji dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran kemudian direndam selama semalam dalam cawan.
2. Setelah direndam semalaman benih dipotong-potong.
3. Kemudian air rendaman benih disaring di dalam saringan 400 mash.
4. Setelah itu, air dimasukkan pada botol sample dan disimpan dalam lemari es setiap hari, hingga masa inkubasi selesai. Kemudian nematode yang keluar diamati dan diidentifikasi.
Identifikasi dilakukan untuk mengetahui kisaran inangnya. Cara yang lebih mudah adalah dengan menggunakan pola perineal (perineal pattern). Tahap-tahap membuat preparat pola perineal:
1. Dengan menggunakan mikroskop stereo, nematoda diambil (dipancing) kemudian diletakkan pada gelas objek yang telah diberi satu tetes air;
2. Diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 200-400 kali.
Bagian-bagian morfologi nematode yang diamati pada saat identifikasi adalah: bentuk tubuh, tipe alat reproduksi, tipe alat mulut (stilet), mulut, ekor, esofagus, posisi istirahat
d. Pengujian Pada Laboratorium Cendawan
Pengujian cendawan terbawa benih mampu menunjukkan potensi kegagalan di pertanaman. Cendawan terbawa benih, khususnya cendawan lapang berkorelasi kuat dengan hasil uji daya berkecambah. Persentase infeksi cendawan total pada benih yang lebih dari 50% diduga menyebabkan daya tumbuh di persemaian kurang dari 80%. Observasi ini perlu dilanjutkan untuk memperoleh nilai ambang batas kerugian secara ekonomi.
Pada pengujian terhadap cendawan pada benih ini dilakukan dengan metode blotter. Metode kertas blotter dapat digunakan untuk memeriksa kesehatan benih. Dengan melihat gejala penyakit dan miselium yang terbentuk kadang-kadang dapat digunakan untuk membedakan jenis tanaman dari cendawan tersebut. Metode ini dapa mendidentifikasi cendawan patogen dengan cepat dan tepat karena setiap jenis tanaman menunjukkan karakteristik masing-masing seperti bentuk dan aturan spesifik dari konodiospora dan sebagainya.
Tahap-tahap metode blotter ini antara lain:
1. Melakukan tabur benih (platting) pada cawan yang telah dilapisi 3(tiga) lembar kertas lembab. Platting ini dilakukan pada ruang laminier agar tetap steril pada saat penaburan.
2. Benih diinkubasi selama 24 jam pertama pada suhu 20°C.
3. Kemudian pada 24 jam kedua dipindahkan pada suhu -20°C.
4. Pada 24 jam ketiga diinkubasi sampai hari ketujuh.
5. Pada hari ketujuh dilakukan pengamatan dan identifikasi.
Dari hasil pengamatan pada pengujian tanaman jagung diperoleh beberapa cendawan yaitu; Fusarium monoliforme, Aspergillus sp, Peronospora manshurica, dan Alternaria padwickii.

G. Analisis SWOT BBPPMBTPH
a. Kekuatan (Strength)
1. Kelembagaan.
Balai Besar PPMBTPH memiliki struktur dan fungsi yang cukup memadai untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal, terlebih jika perangkat struktur organisasi, infrastruktur, SDM, Pelayanan Pengujian, Sistem mutu dan sistem informasi telah berfungsi sebagaimana mestinya.

2. Peraturan Perundangan.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu benih Tanaman Pangan dan Hortikultura mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu:
a. Undang-undang Nomor : 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman;
b. Peraturan Pemerintah Nomor : 44 tahun 1995, tentang Perbenihan Tanaman;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional;
d. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 39 tahun 2006 tentang Produksi, sertifikasi dan peredaran benih Bina;
e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 41 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura;
f. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 38 tahun 2007 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih;
g. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 303/Kpts/OT.210/4/94 tentang Standardisasi, Sertifikasi dan Akreditasi dilingkungan Departemen Pertanian;
h. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 550/Kpts/OT.2140/9/2005 tentang Lembaga sertifikasi Produk Hasil Pertanian;
i. Surat Keputusan Direktur Jenderal Hortikultura Nomor : 31.A/HK.050/6/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Benih Hortikultura;
b. Kelemahan (Weakness)
1. Sumber daya manusia.
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan sangat tergantung kepada perimbangan yang optimal antara jumlah tenaga dengan jenis dan volume pekerjaan diikuti dengan pola penempatan petugas yang tepat serta sesuai dengan kemampuan/kompetensinya. Sementara itu, jumlah pegawai dan kualifikasi pendidikan yang ada pada saat ini masih belum memadai.
2. Sarana dan Prasarana.
Kondisi sarana dan prasarana pada Balai Besar PPMBTPH saat ini masih perlu penambahan dan peremajaan peralatan pengujian untuk mendukung hasil yang akurat.
3. Anggaran/Dana.
Anggaran/dana untuk kegiatan pengujian mutu benih perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dilapangan, terutama untuk pembelian sarana alat pengujian laboratorium sehingga dapat mendukung hasil pengujian yang tepat, akurat dan terpercaya.
c. Peluang (Opportunity)
1. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kemampuan dan kompetensi Balai Besar PPMBTPH masih dapat ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, magang, seminar, konferensi dan workshop (nasional dan internasional) yang relevan dengan tupoksi Balai Besar PPMBTPH terutama dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengujian di laboratorium.
2. Kerjasama.
Untuk integritas dan eksistensinya, maka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa diikuti oleh Balai Besar PPMBTPH, yaitu dengan cara menjalin kerjasama dengan lembaga atau instansi lain (nasional maupun internasional) diharapkan akan menjebatani kesenjangan yang ada dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pencapaian predikat laboratorium yang diakui dan berstandar nasional maupun internasional.
d. Tantangan (Threat)
1. Meningkatnya usaha agribisnis dan perkembangan industri pertanian membutuhkan keersediaan/suplai berbagai jenis benih bermutu.
2. Perlunya antisipasi dalam perdagangan bebas agar Indonesia tidak dijadikan tempat pemasaran segala produk benih yang tidak bermutu.









VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kegiatan Pengujian benih yang dilakukan di laboratorium BBPPMBTPH terdiri dari:
a. Pengujian standar, Pengujian ini terdiri dari pengambilan contoh benih, penetapan kadar air, pengujian kemurnian fisik, pengujian vigor benih, dan pengujian daya berkecambah.
b. Pengujian khusus, Pengujian ini terdiri dari pengujian pengujian kesehatan benih yang diujikan pada beberapa laboratorium yaitu laboratorium cendawan, laboratorium bakteri, laboratorium virus, dan laboratorium nematoda.
2. Pada pengambilan contoh benih Jagung (Zea mays L.) memiliki volume lot maksimal sebesar 40.000 Kg, berat contoh kirim sebesar 1.000 gram, berat contoh kerja analisis kemurnian sebesar 900 gram, dan berat contoh kerja penetapan benih lain berdasarkan jumlah sebesar 1.000 gram.
3. Pada pengujian kemunian fisik benih jagung berat contoh kerja yang digunakan adalah sebesar < 1.000 gram dengan desimal penimbangan sebesar 4.
4. Pada pengujian kadar air jagung diperoleh kadar air sebesar 11,9 %, berarti pada benih yang diuji tersebut mempunyai kadar air yang ideal.
5. Pada pengujian daya berkecambah benih jagung digunakan metode AK atau Antar Kertas (Between Paper).
6. Dari hasil pengamatan indeks vigor benih jagung diperoleh indeks vigor yang tinggi, yaitu persentase rata-ratanya sebesar 87,75%, 86%, dan 89,25%.
7. Dari hasil pengujian kesehatan benih tanaman jagung diperoleh bakteri Xanthomonas, serta beberapa cendawan yaitu; Fusarium monoliforme, Aspergillus sp, Peronospora manshurica, dan Alternaria padwickii.
8. Diperoleh wawasan dan pengalaman kerja dalam hal teknik pengujian mutu benih tanaman jagung.
B. Saran
1. Pengujian mutu benih tanaman jagung sangat perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu tanaman, untuk menjaga, serta meningkatkan produktivitas tanaman jagung.
2. Perlu ditingkatkan kerjasama dengan penangkar benih, lembaga perbenihan kentang baik pemerintah maupun non pemerintah, lembaga pendidikan lainnya.
3. Perlu ditingkatkan kegiatan yang dilakukan oleh BBPPMBTPH baik secara kualitas maupun kuantitas agar dapat memenuhi standar ISTA.






DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2001. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius, Yogyakarta. 139 hal.

Adisarwanto dan Y.E. Widyastuti. 2001. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta. 86 hal.
Depkes.2003.Diversifikasipangan.http://www.depkes.go.id/Ind/News/Kliping/2003/F2003/k 10209000. Diakses 23 mei 2008.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2006. Pedoman Laboratorium Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen pertanian, Jakarta. 282 hal.

Justice, O.L., dan Louis, N.B. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 446 hal.

Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih (Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum). Rineka Cipta, Jakarta. 179 hal.

Kuswanto, Hendarto. 1997. Analisis Benih. Andi, Yogyakarta. 140 hal.

_________________. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Andi, Yogyakarta. 191 hal.

Mugnisjah, W.Q., dan Asep S. 1995. Pengantar Produksi Benih. CV. Rajawali, Jakarta. 610 hal.

Prabowo,A.Y.,2007.BudidayaJagung.http://teknisbudidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-jagung.html. Diakses 25 juni 2008.

Purwono dan Rudi Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. 67 hal.

Rukmana, Rahmat. 2005. Usaha Tani Jagung. Kanisius, Yogyakarta. 112 hal.

Suprapto, H.S., dan H. A. Rasyid M. 2005. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya, Jakarta. 59 hal.

Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. CV. Rajawali, Jakarta. 245 hal.

Tanah karo. 2007. Jagung: sejarah, jenis, dan manfaatnya. http://www.tanahkaro.com/html. Diakses 25 juni 2008.

Warisno. 2005. Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. 81 hal.

Wikipedia. 2008. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. Diakses 23 Mei 2008.