Kamis, 27 Mei 2010

KANDUNGAN SILIKAT DAN PROLIN DAUN SERTA KUALITAS DAN KUANTITAS HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO PADA MEDIA TANAH YANG DIBERI ABU SEKAM

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai jumlah penduduk relatif sangat besar. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah mengkonsumsi beras, sehingga permintaan beras selalu meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan pangan, produksi beras harus selalu ditingkatkan.
Upaya peningkatan produksi padi sampai saat ini masih lebih terfokus pada lahan sawah, terutama melalui intensifikasi. Upaya ini tentu telah dapat meningkatkan produktivitas maupun produksi padi sawah, namun demikian upaya ini masih belum memecahkan masalah penyediaan pangan yang mencukupi kebutuhan. Hal ini terbukti bahwa setiap tahun masih mengimpor beras (Haryanto, 2008). Tahun 2007 tercatat konsumsi beras nasional sebesar 32,3 juta ton, sedangkan ketersediaannya hanya 31,1 juta ton, sehingga pemerintah harus mengimpor beras sebesar 1,3 juta ton (Apriantono, 2009).
Sumbangan lahan kering sebagai pemasok padi gogo masih sangat terbatas dan kurang mendapat perhatian. Pemerintah bertekad mewujudkan swasembada pangan (beras) dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Peran padi gogo akan semakin penting mengingat dalam mencapai swasembada beras tersebut banyak kendala dan tantangan yang dihadapi (Suhendrata et al., 2007). Tim Peneliti Padi Gogo Aromatik (2009), juga menyatakan bahwa potensi lahan kering Indonesia untuk budidaya padi gogo belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan cenderung tidak mendapatkan perhatian serius.

Tabel 1. Luas panen, produksi padi gogo, produktivitas, produksi padi nasional, dan kontribusi padi gogo terhadap padi nasional periode 1997 – 2007

Tahun Luas panen
(juta ha) Produksi
padi gogo
(juta ton) Produk-
tivitas (t/ha) Produksi padi nasional
(juta ton) Kontribusi padi gogo terhadap padi nasional (%)
1997 1.26 2.79 2.21 49.38 5.64
1998 1.25 2.75 2.20 49.24 5.59
1999 1.17 2.67 2.28 50.87 5.24
2000 1.18 2.69 2.29 51.90 5.19
2001 1.08 2.57 2.37 50.46 5.08
2002 1.06 2.59 2.43 51.49 5.03
2003 1.09 2.76 2.52 52.14 5.29
2004 1.12 2.88 2.56 54.09 5.32
2005 1.11 2.83 2.56 54.15 5.23
2006 1.07 2.81 2.62 54.45 5.16
2007 1.10 2.93 2.67 57.05 5.14
Sumber: Deptan (2008)
Tabel 1 menunjukkan bahwa luas panen padi gogo dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 1997 ke tahun berikutnya relatif tetap, di sisi lain produktivitas padi gogo juga masih rendah dibandingkan padi sawah. Dapat dilihat pada tahun 2007, produktivitas padi gogo sebesar 2,67 ton/ha yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun hasil ini masih lebih rendah bila dibandingkan produktivitas padi sawah yang mencapai 4,89 ton/ha. Oleh karena itu kontribusi padi gogo terhadap padi nasional selalu rendah, apalagi luas panen yang juga rendah (1,10 juta ha), dibandingkan luas panen padi sawah seluas 10,67 juta ha. Kontribusi padi gogo terhadap padi nasional sampai saat ini hanya berkisar antara 5-6% saja (Deptan, 2008).
Menurut Hutapea dan Zummashar (2005), kendala utama budidaya padi gogo di lahan kering adalah kurangnya ketersediaan air, tanah yang bereaksi masam, kurang tersedianya unsur hara dan bahan organik tanah. Partohardjono et al. (1989) menyatakan bahwa, jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang sangat penting yang mencirikan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan padi gogo. Ketersediaan air untuk padi gogo tergantung pula pada ciri-ciri tanah, terutama daya memegang airnya. Oleh karena itu, pada lahan kering tadah hujan, curah hujan, dan kapasitas tanah memegang air merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pertanaman padi gogo.
Peningkatan produktivitas padi gogo melalui cara intensifikasi dapat dilakukan dengan penanaman varietas padi gogo yang toleran terhadap kekeringan. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Noor (1996), bahwa penggunaan varietas yang resisten terhadap kondisi lingkungan dapat mengurangi risiko kegagalan panen. Basyir et al. (1995), juga menyatakan bahwa menanam varietas padi gogo tahan kering berumur genjah yang mempunyai sistem perakaran yang dalam, jumlah perakaran banyak, diameter akar akan lebih besar, perakaran yang mampu menembus lapisan tanah yang lebih dalam, dan mempunyai nisbah akar terhadap tajuk lebih tinggi akan dapat mengurangi cekaman kekeringan.
Tanaman yang toleran terhadap kondisi cekaman kekeringan akan menunjukkan respon morfologis dan fisiologis yang berbeda dengan tanaman yang peka. Menurut Morgan (1984, dalam Hamim et al., 1996), respon morfologis dalam beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dapat diketahui melalui sistem perakaran dan bentuk tajuk, sedangkan melalui pendekatan fisiologis, Parson (1982), menyatakan bahwa sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat diketahui melalui beberapa hal di antaranya perubahan tingkah laku stomata, peningkatan akumulasi prolin, fotosintesis, translokasi, dan penurunan osmosis jaringan.
Hasil analisis tanah mengenai pengaruh dosis abu sekam padi terhadap pertumbuhan dan hasil padi Surya di tanah gambut menunjukkan kecenderungan meningkatnya pH dengan penambahan bahan amelioran abu dan diikuti peningkatan ketersediaan unsur K di dalam tanah (Sitio et al., 2007). Menurut Masullili (2005), peningkatan dosis abu sekam padi mempengaruhi mekanisme yang komplek dalam menyumbang K, Si, Ca, Mg, dan mineral lainnya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap beberapa varietas padi gogo dengan pemberian dosis abu sekam yang bervariasi. Beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, antara lain :
1. Berapa hasil masing-masing varietas padi gogo yang dicoba?
2. Apakah pemberian abu sekam berpengaruh terhadap kandungan silikat dan prolin daun serta kualitas dan kuantitas hasil padi gogo?
3. Adakah interaksi antara dosis abu sekam dengan beberapa varietas padi gogo terhadap kualitas dan kuantitas hasil?
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui potensi hasil masing-masing varietas padi gogo yang dicoba.
2. Mengetahui pengaruh pemberian abu sekam terhadap kandungan silikat dan prolin daun serta kualitas dan kuantitas hasil padi gogo.
3. Mengetahui pengaruh interaksi antara dosis abu sekam dengan beberapa varietas padi gogo terhadap kualitas dan kuantitas hasil.
Manfaat penelitian yang dapat diperoleh, antara lain:
1. Dapat digunakan sebagai pedoman dalam mendapatkan varietas padi gogo yang berdaya hasil tinggi;
2. Menambah informasi mengenai pemberian abu sekam pada media tanam dalam budidaya padi gogo;
3. Diperoleh varietas padi gogo yang toleran terhadap kekeringan pada tanah Inceptisol tadah hujan.
Penelitian ini berdasar pada kerangka pemikiran bahwa upaya untuk mendapatkan varietas padi gogo yang toleran terhadap kekeringan perlu dilakukan tindakan, diantaranya dengan pemberian abu sekam dan penggunaan varietas padi gogo yang toleran kekeringan. Setiap varietas mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap pemberian abu sekam untuk mempertahankan diri pada kondisi tanah tercekam kekeringan, sehingga tanaman masih mampu berproduksi dengan baik. Abu sekam yang diberikan ke dalam tanah mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, yaitu mengikat air dalam tanah, menyediakan unsur Si, serta membantu mengikat unsur N, P, dan K. Penelitian Ilyas et al. (2000), mengenai pemberian abu sekam sebagai sumber Si dan pelepas unsur P dalam tanah masam, menggunakan dosis abu sekam 0, 2, 4, dan 6 ton /ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkat pemberian abu sekam ke dalam tanah maka tingkat pelepasan P juga meningkat, pada dosis 6 ton/ha menunjukkan pelepasan P yang tertinggi. Pemberian abu sekam ke dalam tanah diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pada setiap varietas padi gogo yang dicoba.
Berdasarkan kepada uraian, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat varietas padi gogo yang berdaya hasil tinggi.
2. Pemberian abu sekam berpengaruh terhadap kandungan silikat dan prolin daun serta kualitas dan kuantitas hasil padi gogo.
3. Terdapat interaksi antara dosis abu sekam dan beberapa varietas padi gogo terhadap kualitas dan kuantitas hasil.









II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Padi Gogo
Padi gogo pada umumnya diusahakan pada lahan kering yang penanamannya dilakukan pada awal musim hujan. Menurut Noor (1996), kebutuhan air padi gogo tergantung pada ketersediaan air hujan atau air tanah tanpa genangan. Padi gogo dibudidayakan di tanah tegalan secara tetap sehingga telah beradaptasi dengan kondisi lahan kering yang biasa mengalami berbagai tekanan (stress) yang disebabkan oleh kekeringan, kekahatan berbagai unsur hara, erosi dan gangguan gulma.
Tanaman padi gogo memerlukan kondisi iklim dan tanah yang sesuai agar pertumbuhan dan produksi optimal. Pertumbuhan optimal padi gogo memerlukan syarat iklim khusus. Faktor iklim yang sangat menentukan adalah curah hujan, karena untuk pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada air dari curah hujan (Basyir et al., 1995). Padi gogo dapat tumbuh dan berproduksi baik pada daerah dengan curah hujan 200 mm per bulan atau lebih dengan distribusi merata selama 4 bulan (Grist, 1975 dalam Suardi, 2002). Suhu yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan padi gogo adalah antara 200 C sampai 310 C serta dapat tumbuh pada ketinggian 0 sampai 1.300 m dpl (IRRI, 1979, dalam Basyir et al., 1995).
Faktor iklim lain yang sangat penting dan menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo yaitu radiasi matahari. Semakin tinggi intensitas cahaya matahari yang diserap makin tinggi pula energi yang diterima oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis (Prawiranata et al., 1981). Intensitas radiasi matahari di daerah tropis lebih rendah dibandingkan di daerah subtropis. Rendahnya intensitas radiasi matahari mengakibatkan rangsangan menutupnya stomata menjadi lebih cepat dan proses fotosintesis tidak berjalan sempurna, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi gogo terhambat. Faktor ini menyebabkan hasil padi gogo di daerah tropis relatif rendah, karena padi gogo biasanya ditanam pada musim hujan pada saat intensitas radiasi matahari rendah (Gupta dan O’Toole, 1986, dalam Basyir et al., 1995).
Varietas padi gogo yang unggul merupakan salah satu teknologi utama untuk meningkatkan produktivitas padi gogo, memenuhi kebutuhan konsumen, serta meningkatkan pendapatan petani. Varietas padi unggul yaitu suatu varietas padi yang karena sifat pembawaannya dapat memberikan hasil yang tinggi pada satuan luas dan satuan waktu (Suhendrata et al., 2007).
Di Indonesia sekarang ini banyak ditemukan berbagai varietas unggul tanaman padi. Penggunaan varietas unggul mempengaruhi produktivitas yang diperoleh. Varietas unggul memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Mempunyai potensi hasil yang tinggi.
2. Tahan terhadap cekamam lingkungan biotik, misalnya hama dan penyakit.
3. Toleran terhadap cekaman abiotik, misalnya jenis tanah dan kekeringan.
4. Berumur genjah atau pendek.
5. Tanggap terhadap input pertanian, misalnya pemupukan.
6. Kualitas dan kuantitas hasil yang tinggi sehingga cita rasa disenangi dan memiliki harga tinggi (Tim Peneliti Padi Gogo Aromatik, 2009).

B. Peranan Silikat dan Prolin Bagi Tanaman Padi Gogo
Silikat merupakan salah satu unsur yang mampu meningkatkan pertumbuhan beberapa tanaman. Silikat paling banyak terdapat di dinding sel epidermis, di dinding primer dan sekunder pada sel akar, batang, dan daun. Silikat yang tertimbun di dinding sel epidermis dapat menurunkan transpirasi dan mengurangi infeksi oleh cendawan (Salisbury dan Ross, 1995).
Unsur silikat bukanlah unsur hara esensial bagi pertumbuhan tanaman tetapi secara tidak langsung silikat akan mempengaruhi proses metabolisme melalui pembentukan struktur tubuh tanaman yang kuat dan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang lebih baik serta mampu mempertahankan produksi tanaman dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan (Naim, 1989).
Gardner et al. (2008), menyatakan bahwa kandungan silikat dalam tanaman padi merupakan unsur yang esensial, hal ini berdasarkan pengamatan bahwa terjadi perumbuhan yang tidak normal pada media kultur tanpa unsur silikat. Menurut Sutedjo (2002), kandungan Si dalam tanaman padi tergantung pada kandungan silikat dalam tanah, air, serta keadaan lingkungannya. Tanaman padi menyerap silikat sekitar 13,1 – 34,1 g per m2, 27 persen diserap dari air sedang sisanya dari tanah.
Tanaman padi memiliki kadar Si yang relatif tinggi dan melebihi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S). Tanaman dengan kadar SiO2 kurang dari 5 persen maka tegak tanaman tidak akan kuat dan mudah roboh. Robohnya tanaman menyebabkan turunnya produksi sehingga pemupukan Si dianggap dapat menaikkan produksi tanaman (Rosmarkam dan Yuwono, 2006). Menurut Salisbury dan Ross (1995), tanaman padi mengandung lebih dari 16 persen silikat serta dapat mengakumulasi silikat 1 sampai 6 persen dari bobot keringnya.
Hasil penelitian Naim (1989), menyebutkan bahwa ketersediaan unsur-unsur lain bagi tanaman oleh pemberian Si di samping menaikkan serapan silikat juga dapat meningkatkan serapan unsur hara N, P, dan K pada tanaman yang dibudidayakan pada tanah masam. Burbey et al. (1989), juga menyatakan bahwa pemberian silikat meningkatkan kadar P dan K serta menurunkan Ca tanaman. Meningkatnya kadar P tanaman oleh pemberian silikat disebabkan karena unsur ini dapat mengubah sebagian fosfat yang ada dalam tanah menjadi bentuk yang lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Razali (1987), silikat diketahui mempunyai kesamaan sifat dengan unsur P, sehingga jika silikon diberikan pada tanah, unsur ini akan mengisi permukaan pemfiksasi P pada sesquiksida, yaitu komplek yang mengikat P pada tanah-tanah latosol masam.
Pemberian silikat cenderung menurunkan kebutuhan air bagi tanaman, terutama bagi tanaman yang tumbuh pada tanah yang sangat kering. Dijelaskan bahwa penurunan kebutuhan air tanaman tersebut disebabkan oleh peran silikat dalam mengendalikan kehilangan air tanaman (Naim, 1989), Pemberian silikat terbukti menurunkan transpirasi pada daun tanaman padi. Silikat berperan dalam mengendalikan pergerakan stomata, khususnya dari peningkatan tanggap sel-sel stomata terhadap rangsangan sinar matahari (Agarie et al., 1999)
Tanaman yang cukup silikat tahan terhadap serangan penggerek batang dan blas, efisien dalam menangkap sinar matahari karena daun mengarah ke atas, tidak mudah rebah karena batangnya kuat, serta efisien dalam penggunaan air (Yoshida dan Oota, 1979, dalam Naim, 1989). Penelitian Burbey et al. (1989), menyebutkan bahwa pemberian silikat pada tanaman padi gogo dapat meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan blas leher. Menurut Partohardjono et al. (1989), tanaman yang mendapatkan cukup silikat pertumbuhannya baik dan hasilnya lebih tinggi, juga resisten terhadap hama dan penyakit.
Prolin adalah molekul organik yang banyak terakumulasi pada tanaman dalam lingkungan yang stress seperti kekeringan, salinitas tinggi, suhu tinggi, pembekuan, radiasi UV, dan logam berat. Dalam kondisi yang stress, prolin berperan dalam penyesuaian tekanan osmotik dan melindungi struktur subselular (Yamaguchi dan Kazugo, 2001). Nanjo (2001), juga menyatakan bahwa prolin telah dianggap mempunyai peran dalam mediasi adaptif penyesuaian osmotik dan melindungi struktur subselular tanaman. Sintesis, degradasi, dan pengangkutan kooperatif prolin mengatur tingkat endogen dalam tumbuhan tingkat tinggi sebagai respon terhadap kondisi lingkungan.
Prolin berfungsi sebagai pelindung atau stabilizer enzim atau struktur membran yang sensitif terhadap dehidrasi atau kerusakan yang disebabkan oleh ion-ion anorganik. Selain itu, prolin juga berfungsi untuk meningkatkan ekspresi gen mengatur beberapa sel osmosis pada tanaman padi, serta menginduksi garam (Iyer dan Caplan, 1997). Prolin dapat bertindak sebagai molekul sinyal untuk memodulasi fungsi mitokondria, mempengaruhi proliferasi sel atau kematian sel dan memicu ekspresi gen spesifik, yang dapat sangat penting bagi pemulihan tanaman dari stres (Szabados, 2009).
Akumulasi asam amino merupakan suatu proses aktif yang berhubungan dengan stres kekeringan, dan prolin merupakan asam amino yang paling aktif diakumulasi. Secara umum kandungan prolin mengalami peningkatan akibat cekaman kekeringan. Hal ini berkaitan dengan peran prolin sebagai osmoprotein, sehingga produksi prolin yang berlebihan dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan (Hamim et al., 1996).

C. Abu Sekam
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi, yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 % dari bobot padi adalah sekam padi dan lebih kurang 15 % dari komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar (Hara, 1986 dalam Harsono, 2000). Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 94 - 96 %. Silikat yang terdapat dalam sekam ada dalam bentuk amorf terhidrat (Houston, 1972). Akan tetapi jika pembakaran dilakukan secara terus menerus pada suhu di atas 6500 C akan menaikkan kristalinitasnya dan akhirnya akan terbentuk fasa kristobalit dan tridimit dari silika sekam (Hara, 1986, dalam Harsono, 2000)
Abu sekam memiliki fungsi mengikat logam berat. Selain itu sekam berfungsi untuk menggemburkan tanah sehingga bisa mempermudah akar tanaman menyerap unsur hara di dalamnya. sehingga masih tetap perlu campuran media lain dalam media tanaman tersebut. Abu sekam juga berfungsi memperbaiki sifat tanah dan membantu mengikat unsur nitrogen, fospor, dan kalium (NPK) dalam tanah. Kandungan unsur hara abu sekam tidak sebanyak yang ada di dalam pupuk buatan, maka penggunaan yang terbaik adalah dengan mencampur antara abu sekam dan pupuk buatan, dengan intensitas sesuai kebutuhan tanah. Abu sekam padi ini sangat kaya akan silica (Si) yang dalam oksidanya dikenal dengan silica dioxide (Febrynugroho, 2009).
Menurut Suyamto dan Peninkhon (1995), sekam padi baik segar maupun abunya merupakan sumber unsur hara yang berguna bagi tanaman, terutama kalium. Pemberian 5 ton/ha abu sekam pada tanaman padi dapat memperoleh hasil yang sama banyaknya dengan hasil padi yang dipupuk dengan menggunakan 30 kg kalium per hektar, dengan demikian abu sekam dapat digunakan sebagai alternatif sumber pupuk yang murah dan mudah. Menurut Ilyas et al. (2000), penggunaan abu sekam pada lahan pertanian selain sebagai sumber silikat juga merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah pertanian di sekitar lokasi penggilingan padi dan sekaligus sebagai upaya pengembalian sisa panen ke areal pertanian.
Hasil penelitian Ishibashi dan Bromfield (1959, dalam Ilyas et al., 2000), peranan abu sekam sebagai sumber silikat menunjukkan adanya pengaruh yang sangat baik sehubungan dengan pelepasan P oleh silikat. Penggunaan abu sekam (96% SiO2) lebih menguntungkan dibandingkan dengan sekam padi (16% Si). Sanchez (1976, dalam Suprayogi, 2000), menyatakan bahwa pemberian abu sekam ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan SiO2 sejalan dengan proses dekomposisi, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan P tersedia di dalam tanah bagi tanaman.


D. Tanah Inceptisol
Tanah Inceptisol dapat disebut tanah muda karena pembentukannya agak cepat sebagai alterasi bahan induk. Horison-horisonnya tidak memperlihatkan hasil hancuran ekstrem. Dalam keadaan kering, tanah ini biasanya cenderung gembur, sehingga sesuai untuk pertumbuhan akar (Hardjowigeno, 1989).
Tanah Inceptisol mudah berubah oleh gerakan fisik atau reaksi kimia, mempunyai kadar liat >60 persen, remah sampai gumpal, gumpal, gembur, warna tanah gelap, solum (>150 cm), kejenuhan basa rendah (<50 persen), dan mempunyai struktur yang baik (Hardjowigeno, 1989). Menurut Wambeke (1992), warna tanah Inceptisol beraneka ragam tergantung dari bahan induknya. Warna kelabu bahan induknya dari endapan sungai, warna coklat kemerahan karena mengalami proses reduksi, warna hitam mengandung bahan organik yang tinggi.
Inceptisol merupakan salah satu jenis tanah pertanian yang tersebar paling luas di Indonesia, sekitar 70,2 juta ha atau 37,5 % dari wilayah daratan Indonesia. Tanah ini mempunyai produktivitas alami yang beragam. Prospek pemanfaatan Inceptisol di Indonesia dapat dikembangkan dengan budidaya tanaman yang tepat sesuai dengan kemampuan lahan tersebut (Darmawijaya, 1990).






III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan percobaan pot. Lokasi penelitian di Screen House Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Kelurahan Karangwangkal, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, dengan ketinggian tempat ± 110 meter di atas permukaan laut. Jenis tanah yang digunakan yaitu Inceptisol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai November 2009.

B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas padi gogo unggul nasional toleran kekeringan (Situ Patenggang, Limboto, Towuti, Batutegi, dan Aek Sibundong), tanah Inceptisol sebagai media ( 8,9 kg/polybag ), Furadan, fungisida Score, Abu sekam, Pupuk urea, SP-20 dan KCl, benih yang ditanam menggunakan takaran 3 benih per lubang tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hand counter, cutter, polybag ukuran 30 x 40 cm, meteran, cangkul, light intensity meter, termohigrometer, timbangan elektrik, timbangan biasa, penggaris, kertas label, plastik untuk sampel, dan alat tulis.



C. Rancangan Percobaan dan Perlakuan
Faktor yang dicoba terdiri atas varietas padi gogo (lima varietas) dan abu sekam (empat dosis).
Faktor varietas padi gogo: Faktor abu sekam:
V1: varietas Situ Patenggang A0: tanpa abu sekam
V2: varietas Limboto A1: 2 ton/ha
V3: varietas Towuti A2: 4 ton/ha
V4: varietas Batutegi A3: 6 ton/ha
V5: varietas Aek Sibundong
Rancangan perlakuan berpola faktorial, sehingga terdapat 5 x 4 = 20 kombinasi perlakuan. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali, maka semuanya ada 20 x 3 = 60 unit percobaan, setiap perlakuan terdiri atas 4 polybag, sehingga total polybag pada penelitian ini berjumlah 240. Tiap varietas padi gogo ditanam sebanyak 3 benih per polybag. Kombinasi perlakuan tersebut adalah :
A0V1 A1V1 A2V1 A3V1
A0V2 A1V2 A2V2 A3V2
A0V3 A1V3 A2V3 A3V3
A0V4 A1V4 A2V4 A3V4
A0V5 A1V5 A2V5 A3V5
Mendasarkan rancangan perlakuan tersebut dan kondisi Screen House maupun tujuan penelitian, maka rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK).

D. Variabel dan Cara Pengukuran
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pengamatan hasil
1. Jumlah malai per rumpun (tangkai)
Jumlah malai per rumpun diperoleh dengan menghitung banyaknya malai yang terdapat dalam satu rumpun tanaman padi gogo setelah panen
2. Bobot 1000 butir gabah (g)
Bobot 1000 butir gabah diperoleh dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang diambil dari masing-masing perlakuan berikut ulangannya setelah panen.
3. Bobot gabah per rumpun (g)
Bobot gabah per rumpun, diperoleh dengan menimbang seluruh gabah dalam satu rumpun setelah panen.
4. Jumlah gabah per rumpun (butir)
Jumlah gabah per rumpun diperoleh dengan menghitung banyaknya butir padi yang bernas maupun yang hampa setelah panen.
5. Jumlah gabah per malai (butir)
Jumlah gabah per malai diperoleh dengan menghitung banyaknya butir padi yang bernas maupun yang hampa pada setiap malai setelah panen.
6. Panjang malai (cm)
Pengamatan dilakukan setelah panen dengan cara diukur dari pangkal sampai ujung malai teratas untuk semua malai.

b. Pengamatan fisiologis
1. Kandungan Si pada daun
Kandungan Si pada daun diperoleh dengan pengambilan semua sampel daun, dan yang dianalisis adalah bagian tepi daun (leaf blade). Kandungan Si dianalisis dengan menggunakan metode AID.
2. Kandungan prolin pada daun
Kandungan prolin daun diperoleh dengan pengambilan semua sampel daun yang masing-masing sebanyak 5g, diekstrak dengan menggunakan 10 ml 3% sulphosalicilic acid dan hasilnya dianalisis dengan NMR spectroscopy.
3. Kandungan amilosa pada biji
Kandungan amilosa pada biji diperoleh dengan pengambilan semua sampel biji yang masing-masing sebanyak 2 - 5 g biji yang sudah bersih dianalisis dengan menggunakan metode iodine-colorimetric.
4. Kandungan protein pada biji
Kandungan protein pada biji diperoleh dengan pengambilan sampel sebanyak 0,7 – 3,5 g dengan menggunakan metode Kjeidahl. Kandungan protein dihitung dangan mengkalikan kandungan N total dengan 5.95 sebagai konstanta konversi ke kandungan protein.

E. Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji F. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji rentang ganda Duncan atau Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5 %.
F. Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan lahan
Lahan yang digunakan adalah screen house tanpa atap, sebelum digunakan screen house terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran dan gulma yang ada di sekitarnya, lalu dibuat denah lokasi percobaan.
2. Persiapan media tanam
Tanah Inceptisol dikeringanginkan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 0,2 mm. Tanah yang telah diayak ditimbang seberat 8,9 kg dan dimasukkan ke dalam polibag berukuran 30 x 40 cm. Polybag ditata dalam rumah percobaan dengan jarak 20 x 20 cm. Tanah yang telah dimasukkan polybag diberi pupuk kandang dan abu sekam sesuai dengan takaran kemudian diaduk-aduk hingga merata, lalu diisi air sampai dengan kapasitas lapang.
3. Penanaman
Benih padi gogo ditanam dengan membenamkan benih sedalam 3-5 cm, kemudian ditutup secukupnya dengan tanah. Benih yang ditanam tiap lubang sebanyak 3 benih.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, dilakukan dengan dicabut, pengairan dilakukan apabila tidak ada hujan (sampai 80% dari kapasitas lapang). Serangan hama dan penyakit akan dikontrol sesuai dengan kondisi serangan di lapangan.

5. Pemupukan
Pupuk dan dosis yang digunakan adalah urea 200 kg/ha diberikan dua kali masing-masing setengah dosis, yaitu pada umur 15 dan 30 hari setelah tanam , SP-20 270 kg/ha diberikan 15 hari setelah tanam, dan KCl 200 kg/ha diberikan 15 hari setelah tanam. Perhitungan jumlah pupuk dapat dilihat dalam Lampiran 8.
6. Pengamatan
Pengamatan dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang meliputi pengamatan hasil (Jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah per rumpun, jumlah gabah per rumpun, jumlah gabah per malai, panjang malai) dan pengamatan sifat fisiologis tanaman (kandungan Si pada daun, kandungan prolin pada daun, kandungan amilosa pada biji, dan kandungan protein pada biji).
7. Panen
Panen dilakukan setelah padi mencapai fase masak fisiologis, dilakukan dengan cara memotong tangkai malai secara manual.







IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Penelitian
Percobaan dilaksanakan di dalam screen house selama kurang lebih lima bulan dengan suhu udara minimum antara 15oC-22oC (diukur pagi hari antara pukul 06.00-07.00), dan temperatur maksimum antara 23oC-33oC (diukur siang hari antara pukul 13.00-14.00). Kelembaban udara selama penelitian antara 43%-75% (diukur pagi hari antara pukul 06.30-07.30) dan antara 29%-56% (diukur siang hari antara pukul 13.00-14.00). Intensitas matahari selama penelitian antara 4,6kLux-86,4kLux (diukur pagi hari antara pukul 06.00-07.00) dan antara 5,9 kLux-85,8 kLux (diukur siang hari antara pukul 13.00-14.00). Data selengkapnya mengenai suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.
Benih yang digunakan per lubang tanam sebanyak 3 butir, dari ketiga benih tersebut semuanya dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Pupuk SP-20 dan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (hst), sedangkan pupuk Urea diberikan 2 kali, yaitu saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hari setelah tanam (hst) (data dosis pupuk urea yang diberikan beserta cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 8). Pemberian air diberikan 2 – 3 hari sekali sampai 80% dari kapasitas lapang.
Tanaman mulai terserang hama ulat penggerek batang pada saat tanaman berumur 50 hari setelah tanam (hst). Hama tersebut menyerang batang bagian bawah, yang mengakibatkan batang kering dan rebah. Tercatat 3 polybag yang terserang hama tersebut. Pengendalian hama tersebut yaitu dengan pemberian furadan di sekitar permukaan tanah, setelah diberi furadan hama tersebut tidak menyerang lagi dan tanaman dapat tumbuh normal kembali.
Saat fase akhir vegetatif tanaman terserang penyakit blas. Penyakit ini disebabkan oleh jamur pathogen Pyricularia grisae. Penyakit blas mengakibatkan tepi daun menguning. Tanaman yang terserang penyakit ini hanya sebagian kecil saja. Pengendalian dilakukan dengan cara memberikan fungisida score dengan cara menyemprot bagian tanaman, setelah diberi fungisida score tanaman tidak terganggu lagi dan dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Saat memasuki stadia masak susu, tanaman terserang hama burung pipit. Hama tersebut menyerang dengan cara menghisap cairan bulir serta memakan bulir padi yang dapat mengakibatkan pengisian gabah tidak sempurna serta kerontokan gabah. Pengendalian dilakukan dengan cara menutup sekeliling screen house dengan menggunakan plastik dan paranet. Setelah screen house ditutup dengan plastik dan paranet, hama tersebut tidak dapat masuk dan tidak menyerang tanaman lagi.
Gulma yang tumbuh di sekitar tanaman padi gogo antara lain, Ageratum conizoides L. Cyperus rotundus L., Cyperus kylingia Endl., Cynodon dactilon (L.) Pers., Imperata cylindrica (L.) Beauv., dan Digitaria ciliaris (Redz.). Pengendalian gulma dilakukan dengan cara mencabuti gulma yang tumbuh di sekitar padi gogo.
Masa berbunga dari kelima varietas yang dicoba berbeda-beda. Varietas yang pertama berbunga adalah varietas Situ Patenggang, lalu diikuti Limboto, Aek Sibundong Towuti, dan yang terakhir adalah Batutegi. Hal ini menyebabkan umur panennya pun beragam dan panen dilakukan beberapa kali. Panen dilakukan dengan menggunting malai satu per satu dan dipisahkan berdasarkan perlakuan.

B. Hasil
Data hasil pengamatan semua variabel tanaman padi gogo dianalisis dengan uji F (analisis varian). Matriks hasil analisis varian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks hasil analisis data variabel pengamatan lima varietas padi gogo pada empat taraf pemberian abu sekam

No. Variabel Pengamatan V A V x A
1. Jumlah malai per rumpun n tn tn
2. Bobot 1000 butir gabah n tn tn
3. Bobot gabah per rumpun n tn tn
4. Jumlah gabah per rumpun n tn tn
5. Jumlah gabah per malai n tn tn
6. Panjang malai n tn tn
7. Kandungan Si pada daun n n n
8. Kandungan prolin pada daun n n tn
9. Kandungan amilosa pada biji n n n
10. Kandungan protein pada biji n n tn

Keterangan :
V = Varietas
A = Pemberian abu sekam
V x A = Interaksi antara varietas dengan pemberian abu sekam
n = Keragaman nyata berdasar uji varian
tn = Keragaman tidak nyata berdasar uji varian


Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar varietas yang dicoba pada semua variabel yang diamati, sedangkan perlakuan pemberian abu sekam hanya berpengaruh pada variabel kandungan Si pada daun, kandungan prolin pada daun, kandungan amilosa pada biji, dan kandungan protein pada biji. Interaksi antara pemberian abu sekam dengan varietas yang dicoba ditunjukkan oleh variabel kandungan Si pada daun dan kandungan amilosa pada biji.

Tabel 3. Angka rerata variabel karakter fisiologis, kualitas,dan kuantitas hasil lima varietas padi gogo pada empat taraf pemberian abu sekam yang berbeda

Perlakuan Variabel pengamatan
JMPR
(helai) B1000
(g) BGPR
(g) JGPR
(butir) JGPM
(butir)
Varietas
V1 (Situ Patenggang) 18,35 c 21,65 b 17,60 c 1.292,11 d 74,78 b
V2 (Limboto) 22,27 b 21,52 b 17,91 c 1.539,88 c 68,94 b
V3 (Towuti) 26,31 a 22,08 b 36,06 ab 2.088,04 b 79,66 b
V4 (Batutegi) 12,38 d 20,38 c 34,14 b 2.540,58 a 206,71 a
V5 (Aek Sibundong) 27,71 a 25,09 a 37,27 a 1.951,10 b 70,17 b
Dosis abu sekam
A0 (0 ton/ha) 21,28 a 22,50 a 30,39 a 2.014,01 a 107,01 a
A1 (2 ton/ha) 20,78 a 22,21 a 28,45 a 1.844,56 a 100,62 a
A2 (4 ton/ha) 21,38 a 21,98 a 27,50 a 1.802,62 a 96,27 a
A3 (6 ton/ha) 22,17 a 21,89 a 27,90 a 1.868,19 a 96,33 a

lanjutan
Perlakuan Variabel pengamatan
PM
(cm) KSIPD
(%) KPPD
( M/g bsh)
KAPB
(%) KPPB
(%)
Varietas
V1 (Situ Patenggang) 19,74 c 6,79 c 17,09 b 18,00 e 9,55 a
V2 (Limboto) 20,73 bc 8,08 a 16,53 b 19,61 d 9,06 b
V3 (Towuti) 21,68 b 7,64 b 17,59 b 22,37 b 7,88 e
V4 (Batutegi) 23,62 a 7,70 b 18,58 a 23,18 a 8,14 d
V5 (Aek Sibundong) 21,20 b 7,99 a 16,80 b 21,40 c 8,73 c
Dosis abu sekam
A0 (0 ton/ha) 21,53 a 6,49 d 12,77 d 21,63 a 8,08 d
A1 (2 ton/ha) 21,51 a 7,69 c 16,29 c 20,76 b 8,27 c
A2 (4 ton/ha) 21,23 a 7,96 b 18,97 b 21,02 b 8,90 b
A3 (6 ton/ha) 21,29 a 8,40 a 21,79 a 20,23 c 9,43 a

Keterangan: Angka dalam variabel pengamatan yang sama pada faktor perlakuan yang sama bila diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.
JMPR = jumlah malai per rumpun PM = panjang malai
B1000 = bobot 1000 butir gabah KSIPD = kandungan Si pada daun
BGPR = bobot gabah per rumpun KPPD = kandungan prolin pada daun
JGPM = jumlah gabah per malai KAPB = kandungan amilosa pada biji
JGPR = jumlah gabah per rumpun KPPB = kandungan protein pada biji

a. Jumlah malai per rumpun
Pemberian abu sekam dalam berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah malai per rumpun, namun varietas yang dicoba menyebabkan perbedaan jumlah malai per rumpun. Varietas Aek Sibundong mempunyai jumlah malai yang tertinggi yaitu 27,71 tangkai, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Towuti (26,31 tangkai). Varietas Batutegi memiliki jumlah malai yang terendah yaitu 12,38 tangkai (Tabel 3).
b. Bobot 1000 butir gabah
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian abu sekam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel bobot 1000 butir gabah. Antar varietas yang dicoba menunjukkan perbedaan bobot 1000 butir. Varietas Aek Sibundong memiliki nilai tetinggi (25,05 g), dibandingkan dengan varietas Towuti (22,08 g), Situ Patenggang (21,65 g), Limboto (21,52 g), dan varietas Batutegi memiliki nilai terendah (20,38 g).
c. Bobot gabah per rumpun
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian abu sekam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel bobot gabah per rumpun, namun perbedaan varietas yang dicoba mempengaruhi nilai rerata bobot gabah per rumpun. Varietas Aek Sibundong memiliki bobot gabah per rumpun tertinggi (37,27 g) dibandingkan dengan varietas Batutegi (34,13 g), Limboto (17,91 g), dan Situ Petenggang (17,60 g), namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas Towuti (36,06 g).

d. Jumlah gabah per rumpun
Pemberian abu sekam dalam berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah gabah per rumpun, namun varietas yang dicoba menyebabkan perbedaan jumlah gabah per rumpun. Varietas Batutegi memiliki jumlah gabah per rumpun yang paling banyak (2540,58 butir), dibandingkan varietas Towuti (2088,04 butir), Aek Sibundong (1951,10 butir), Limboto (1539,88 butir) dan jumlah gabah yang paling sedikit diperoleh varietas Situ Patenggang (1292,11 butir) (Tabel 3).
e. Jumlah gabah per malai
Pemberian abu sekam dalam berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah gabah per malai. Varietas yang dicoba menyebabkan perbedaan jumlah gabah per malai, namun hanya satu varietas saja yang menunjukkan perbedaan yang nyata pada variabel jumlah gabah per malai. Varietas Batutegi memiliki jumlah gabah per malai yang paling banyak (206,71 butir), dibandingkan varietas yang lainnya (Tabel 3).
f. Panjang malai
Pemberian abu sekam dalam berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel panjang malai, namun perbedaan varietas yang dicoba mempengaruhi nilai rerata panjang malai. Varietas Batutegi memiliki panjang malai terpanjang, yaitu 23,62 cm, dibandingkan varietas Towuti (21,68 cm), Aek Sibundong (21,20 cm), Limboto (20,73 cm), dan malai terpendek dimiliki varietas Situ Patenggang (19,74 cm) (Tabel 3).

g. Kandungan Si pada daun
Setiap varietas memiliki respon yang berbeda-beda terhadap pemberian abu sekam pada variabel kandungan Si pada daun. Secara umum kandungan Si pada daun meningkat seiring dengan penambahan dosis abu sekam yang diberikan, namun varietas Situ Patenggang dan Limboto pada penambahan dosis abu sekam menjadi 4 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha, sedangkan varietas Aek Sibundong pada penambahan dosis abu sekam menjadi 6 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 4 ton/ha (Tabel 4).
h. Kandungan prolin pada daun
Tabel 3 menunjukkan bahwa setiap penambahan dosis abu sekam 0 ton/ha sampai 6 ton/ha meningkatkan kandungan prolin pada daun. Nilai kandungan prolin pada daun yang tertinggi diperoleh pada pemberian abu sekam 6 ton/ha, yaitu 21,79 M/g basah dan terendah tanpa pemberian abu sekam (0 ton/ha), yaitu 12,77 M/g basah. Perbedaan varietas juga mempengaruhi nilai kandungan prolin pada daun, namun hanya satu varietas saja yang yang menunjukkan perbedaan yang nyata pada variabel kandungan prolin pada daun. Varietas Batutegi memiliki akumulasi prolin tertinggi (18,58 M/g basah), dibandingkan varietas yang lainnya.
i. Kandungan amilosa pada biji
Respon setiap varietas berbeda-beda terhadap pemberian abu sekam pada variabel kandungan amilosa pada biji. Pemberian abu sekam dalam berbagai dosis pada varietas Situ Patenggang tidak mempengaruhi kandungan amilosa biji. Pada varietas Towuti dan Batutegi, setiap penambahan dosis abu sekam menurunkan kandungan amilosa biji, namun pada penambahan dosis abu sekam menjadi 4 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha, sedangkan varietas Limboto dan Aek Sibundong mampu menurunkan kandungan amilosa biji pada pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha dan 6 ton/ha (Tabel 5).
j. Kandungan protein pada biji
Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan dosis abu sekam yang diberikan meningkatkan nilai kandungan protein pada biji. Kandungan protein tertinggi diperoleh pada pemberian abu sekam dosis 6 ton/ha, yaitu 9,43 % dan terendah tanpa pemberian abu sekam (dosis 0 ton/ha), yaitu 8,08 %. Perbedaan varietas yang dicoba menyebabkan perbedaan kandungan protein pada biji yang berbeda. Nilai kandungan protein tertinggi dimiliki varietas Situ Patenggang (9,55 %) dan yang terendah adalah varietas Towuti (7,88 %).

C. Pembahasan
1. Karakter fisiologis, kualitas, dan kuantitas hasil pada beberapa varietas padi gogo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing varietas yang dicoba memberikan angka yang berbeda-beda pada semua variabel yang diamati. Perbedaan angka dari setiap varietas disebabkan karena setiap varietas mempunyai sifat yang berbeda-beda baik sifat genetis, morfologis, maupun fisiologis. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), perbedaan varietas cukup besar mempengaruhi perbedaan sifat dalam tanaman (genetik). Keragaman penampilan tanaman terjadi akibat sifat genetik dan adanya perbedaan lingkungan. Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman.
Kondisi iklim dan tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil dari setiap tanaman. Setiap varietas padi gogo memerlukan kesesuaian iklim yang berbeda-beda serta mempunyai respon tertentu juga dalam suatu kondisi di lapangan. Faktor-faktor iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi gogo yaitu curah hujan, kelembaban udara, temperatur, radiasi, dan angin, sedangkan faktor tanah yang berpengaruh yaitu sifat fisik, kimia, dan hayati tanah.
Varietas Batutegi dan Aek Sibundong mempunyai nilai yang tertinggi pada hampir semua variabel pengamatan. Varietas Batutegi mempunyai nilai yang tertinggi pada variabel bobot jumlah gabah per rumpun, jumlah gabah per malai, panjang malai, kandungan prolin pada daun, serta kandungan amilosa pada biji, sedangkan varietas Aek Sibundong memiliki nilai hasil yang tertinggi pada variabel jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah per rumpun, serta kandungan Si pada daun.
Varietas Aek Sibundong memiliki bobot gabah per rumpun yang tertinggi (37,27 g) dibandingkan varietas yang lain, walaupun varietas Aek Sibundong mempunyai jumlah gabah per rumpun yang lebih rendah (1951,10 butir) dibandingkan dengan varietas Batutegi (2540,58 butir). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Aek Sibundong memiliki gabah yang besar-besar. Hal ini juga dapat dilihat dari varietas Aek Sibundong yang memiliki bobot 1000 butir yang relatif tinggi (25,09 g) dibandingkan dengan varietas Batutegi (20,38 g) (Tabel 3). Varietas Batutegi memiliki presentase gabah hampa yang cukup tinggi. Gabah isi merupakan komponen hasil penting yang mempengaruhi produksi. Abdulrachman et al. (2004) menyatakan bahwa, pengisian gabah dipengaruhi oleh jumlah gabah. Peningkatan gabah isi dan penurunan jumlah gabah per rumpun menyebabkan persentase gabah isi per rumpun tinggi.
Varietas Batutegi memiliki jumlah gabah per malai yang paling tinggi (206,71 butir), bahkan hampir tiga kali lipat dari rerata jumlah gabah per malai varietas lainnya. Hal ini karena varietas Batutegi memiliki panjang malai yang terpanjang, yaitu 23,62 cm, sehingga menyebabkan varietas Batutegi memiliki jumlah gabah per rumpun yang paling tinggi (2540,58 butir), walaupun mempunyai jumlah malai per rumpun yang terendah (12,38 tangkai) (Tabel 3). Panjang malai sangat ditentukan oleh sifat genetik tiap varietas. Menurut Suhartatik et al. (2004), padi tipe baru mempunyai panjang malai lebih panjang daripada padi hibrida sehingga dapat dikatakan bahwa proses pemanjangan malai memang dipengaruhi kultivar. Malai yang panjang diharapkan menghasilkan jumlah gabah menjadi banyak sehingga bobot gabah per rumpun juga lebih tinggi. Menurut Poniman et al. (2001 dalam Dyah, 2006), pemanjangan malai juga disebabkan karena kondisi lingkungan.
Perbedaan varietas padi gogo menyebabkan perbedaan kandungan Si pada daun. Varietas Limboto dan Aek Sibundong mempunyai kandungan Si pada daun yang tertinggi, yaitu 8,08 dan 7,99 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Limboto dan Aek Sibundong mempunyai kemampuan menyerap dan mengakumulasi Si yang lebih baik daripada varietas Situ Patenggang, Towuti, dan Batutegi. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2006), tanaman menyerap Si dalam jumlah yang berbeda-beda karena di samping tergantung kadar Si dalam tanah juga tergantung jenis tanamannya.
Kandungan silikat dalam tanaman padi merupakan unsur yang esensial (Gardner et al., 1993). Kekahatan silikat pada tanaman padi dapat menurunkan laju pertumbuhan dan menaikkan transpirasi sekitar 30% (Burbey et al., 1989). Tanaman yang kekurangan Si banyak kehilangan air (transpirasinya tinggi), karena permukaan daunnya kurang terlindungi silikat, sehingga tanaman mudah kekeringan. Pemberian Si menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap kekeringan (Suryana, 2008).
Perbedaan varietas juga mempengaruhi perbedaan kandungan prolin pada daun, kandungan amilosa pada biji, serta kandungan protein pada biji. Kandungan prolin daun tertinggi terdapat pada varietas Batutegi (18,58 M/g basah) (Tabel 3). Hal ini diduga karena varietas Batutegi memiliki morfologi tinggi tanaman yang relatif tinggi, sehingga akar dalam mentransfer air ke seluruh bagian tanaman terutama bagian daun lebih jauh, dan membutuhkan banyak energi, akibatnya kandungan air pada daun rendah. Selain itu tinggi tanaman yang relatif tinggi mengakibatkan intensitas penguapan yang tinggi sehingga kandungan air pada daun rendah. Menurut Yamaguchi dan Kazugo (2001), pada keadaan kandungan air yang rendah akumulasi prolin akan meningkat. Prolin berperan dalam penyesuaian tekanan osmotik dan melindungi struktur subselular.

Kandungan amilosa biji pada setiap varietas berbeda-beda. Kandungan amilosa biji tertinggi terdapat pada varietas Batutegi, yaitu 23,18 % (Tabel 3). Hal ini diduga karena adanya sifat-sifat genetis yang dimiliki setiap varietas serta respon yang berbeda-beda terhadap lingkungan dalam pembentukan amilosa. Tirtowirjono (1988, dalam Haryanto, 2008), menyatakan bahwa keragaman kandungan amilosa dalam tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi tanah, pemupukan, lingkungan dan iklim. Varietas padi yang sama dapat mengandung kadar amilosa yang berbeda jika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Menurut Hanny (2002), komposisi kimia beras berbeda-beda tergantung pada varietas dan cara pengelolaannya.
Frei et al. (2003, dalam Noraini et al.,2008) telah melaporkan terdapat variasi yang besar dalam nisbah amilosa bagi setiap jenis beras yang berbeda. Keadaan ini telah mewujudkan pengkelasan bagi amilosa yaitu waxy (1-2 % amilosa), sangat rendah kandungan amilosa (2-12 % amilosa), rendah kandungan amilosa (12-20 % amilosa), sederhana kandungan amilosa (20- 25 %) dan tinggi kandungan amilosa (25-33 %). Berdasarkan kriteria tersebut maka varietas Situ Patenggang dan Limboto tergolong varietas yang memiliki kandungan amilosa rendah (18,00 dan 19,61 %), sedangkan varietas Towuti, Batutegi, dan Aek Sibundong tergolong varietas yang memiliki kandungan amilosa sederhana atau sedang (22,37, 23,18, dan 21,40 %) (Tabel 3).
Kadar amilosa merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepulenan nasi. Beras dengan kadar amilosa sedang (20-25 %) lebih disenangi masyarakat Indonesia. Varietas padi dengan kandungan amilosa tinggi (25-33%) memiliki tekstur nasi pera, sedangkan varietas yang kandungan amilosanya sedang (22-25 %) memiliki tekstur yang lembut (Suwarno et al., 1982). Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka varietas Towuti, Batutegi, dan Aek Sibundong akan lebih disenangi masyarakat Indonesia, karena memiliki kandungan amilosa sederhana atau sedang, yang mengakibatkan tekstur nasi menjadi pulen.
Komposisi biji terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, serat kasar dan abu. Hasil penelitian menunjukkan biji yang mempunyai kandungan amilosa biji yang tinggi maka kandungan proteinnya rendah, begitu juga sebaliknya. Varietas Situ Patenggang memiliki kandungan protein yang tertinggi, yaitu 9,55 %, namun memiliki kandungan amilosa biji yang relatif rendah (18,00 %), sedangkan pada varietas Batutegi memiliki kandungan amilosa tertinggi (23,18 %), namun kandungan protein bijinya relatif rendah (8,14 %) (Tabel 3). Menurut Haryanto (2008), Nilai gizi beras dapat dikaitkan dengan kandungan protein pada beras.
Tingginya protein sangat dipengaruhi oleh tanaman dalam menyerap unsur N. Tingginya kandungan protein biji pada varietas Situ Patenggang diduga disebabkan karena varietas tersebut lebih efisien dalam menggunakan unsur N. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2006), tingkat penyerapan N pada tanaman berpengaruh terhadap susunan kimia tanaman. Semakin meningkat kemampuan tanaman dalam menyerap N, maka kadar karbohidrat akan menurun dan meningkatkan kadar protein. Penurunan kadar karbohidrat dalam tanaman menunjukkan adanya kompetisi antara penyusunan karbohidrat (amilosa, sukrosa, polifruktosa) dengan penyusunan asam amino.
Secara umum dari variabel yang diamati tampak bahwa varietas Batutegi dan Aek Sibundong memiliki potensi untuk berproduksi lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain.Varietas Batutegi dan Aek Sibundong bisa dijadikan alternatif untuk meningkatkan produksi tanaman padi gogo. Menurut Suhendrata et al. (2007), Tingkat produktivitas suatu tanaman dapat dilihat dari penampilan morfologi tanaman tersebut. Berdasarkan adanya hubungan antara morfologi dan produktivitas, maka akan tercipta suatu tipe tanaman yang ideal (idiotipe).

2. Pengaruh pemberian abu sekam terhadap karakter fisiologis, kualitas dan kuantitas hasil tanaman padi gogo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu sekam hanya memberikan pengaruh yang nyata pada variabel pengamatan karakter fisiologis dan kualitas hasil, yaitu kandungan Si pada daun, kandungan prolin pada daun, kandungan amilosa biji, kandungan protein biji. Hal ini diduga karena pemberian abu sekam memberikan pengaruh menyediakan unsur hara K, Si, Ca, Mg serta membantu mengikat unsur nitrogen, pospor, dan kalium (NPK) dalam tanah, namun unsur hara tersebut belum mampu untuk meningkatkan kuantitas hasil.
Peningkatan dosis abu sekam dari 0 ton/ha sampai 6 ton/ha meningkatkan kandungan Si pada daun (Tabel 3). Hal itu menunjukkan bahwa Si yang terdapat pada abu sekam mampu diserap dengan baik oleh tanaman. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Machlis et al. (1969, dalam Susanti, 2001), bahwa penambahan unsur Si menyebabkan meningkatnya kandungan Si pada tanaman secara sehat, baik melalui perannya secara fisiologis dalam tanaman, maupun secara morfologis, melalui meningkatnya lapisan Si pada bagian epidermis daun. Menurut Sutedjo (2002), kandungan silikat dalam tanaman padi tergantung pada kandungan silikat pada tanah, air, serta keadaan lingkungannya.
Pemberian abu sekam ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan SiO2 di dalam tanah sejalan dengan proses dekomposisi, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan P tersedia di dalam tanah bagi tanaman (Sanchez, 1976 dalam Suprayogi, 2000). Kaitan keberadaan Si dengan kebutuhan air dilaporkan oleh Naim (1989), bahwa pemberian Silikat cenderung menurunkan kebutuhan air bagi tanaman, terutama bagi tanaman yang tumbuh pada tanah yang kering. Dijelaskan bahwa penurunan kebutuhan air tanaman tersebut disebabkan oleh peran silikat dalam mengendalikan kehilangan air. Pernyataan tersebut sangat berhubungan dengan kandungan prolin pada daun, terutama dalam kemampuan tanaman dalam memanfaatkan air.
Semakin meningkatnya kandungan Si pada daun diikuti dengan meningkatnya kandungan prolin pada daun. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak dosis pemberian abu sekam ke dalam tanah semakin tinggi kandungan prolin pada daun. Peningkatan pemberian abu sekam ke dalam tanah akan mengakibatkan pelepasan air yang ada di dalam tanah yang digunakan untuk tanaman semakin pelan dan sedikit digunakan, sehingga akumulasi air pada daun semakin rendah, dalam keadaan ini maka kandungan prolin akan meningkat. Hal ini sesuai dengan fungsi prolin menurut Iyer dan Caplan (1997), yaitu sebagai pelindung atau stabilizer enzim atau struktur membran yang sensitif terhadap dehidrasi atau kerusakan yang disebabkan oleh ion-ion anorganik. Prolin juga berfungsi untuk meningkatkan ekspresi gen mengatur beberapa sel osmosis pada tanaman padi.
Pemberian abu sekam sampai dosis 6 ton/ha dapat menurunkan kandungan amilosa biji dan meningkatkan kandungan protein biji, namun pemberian abu sekam pada dosis 2 ton/ha dan 4 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada variabel kandungan amilosa biji, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Dosis abu sekam 0 ton/ha menghasilkan kandungan amilosa biji tertinggi (21,63 %) serta menghasilkan kandungan protein biji terendah (8,08 %), sedangkan dosis abu sekam 6 ton/ha menghasilkan kandungan amilosa biji terendah (20,23 %) serta menghasilkan kandungan protein biji tertinggi (9,43 %). Kandungan amilosa biji juga ditentukan oleh respon varietas padinya. Penambahaan abu sekam dalam berbagai dosis mampu mengikat P dalam tanah dan mengubah dalam bentuk tersedia. P dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan protein biji. Semakin meningkatnya kandungan prolin pada daun juga mempengaruhi kandungan protein pada biji. Menurut Pollard dan Jones (1979, dalam Nanjo,2001), prolin berfungsi melindungi membran dan protein terhadap efek samping tinggi konsentrasi ion-ion anorganik dan suhu ekstrim.
Protein beras berfungsi sebagai sumber energi. Protein beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin. Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85–90 %), sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Dengan demikian sifat fisikokimia beras terutama ditentukan oleh sifat fisikokimia patiya. Protein adalah komponen kedua terbesar beras setelah pati (amilosa dan amilopektin). Sebagian besar (80 %) protein beras merupakan fraksi tidak larut dalam air, yang disebut glutelin (Hanny, 2002).
Pemberian abu sekam tidak berpengaruh nyata pada variabel kuantitas hasil, yaitu jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah per rumpun, jumlah gabah per rumpun, jumlah gabah per malai, serta panjang malai. Hal ini sangat berhubungan dalam penyerapan unsur pada tanaman padi gogo. Menurut Suardi dan Haryono (1984, dalam Dyah, 2006), serapan hara oleh tanaman padi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti varietas, keadaan fisik tanah, iklim, status air tanah, ketersediaan unsur hara, pH, suhu, adanya ion kompetitif, dan sifat fiksasi tanah.
Menurut Partohardjono et al. (1989), faktor-faktor iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi gogo yaitu curah hujan, kelembaban udara, temperatur, awan, radiasi dan angin. Curah hujan dapat mempengaruhi ketersediaan air dalam lapisan olah pada tiap-tiap fase pertumbuhan. Keadaan awan mempengaruhi intensitas sinar matahari untuk proses fotosintesis. Temperatur udara dapat mempengaruhi kehampaan suatu varietas padi. Angin dapat mempengaruhi kerebahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian abu sekam kurang bersinergi terhadap kondisi lingkungan (iklim dan tanah) di lahan percobaan, sehingga pemberian abu sekam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel kuantitas hasil. Kondisi tanah 80 % kapasitas lapang diduga tidak memberikan efek tercekam bagi tanaman padi gogo, sehingga pemberian abu sekam tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kuantitas hasil tanaman padi gogo yang dicoba.
3. Pengaruh interaksi perlakuan pemberian abu sekam dan varietas terhadap karakter fisiologis, kualitas dan kuantitas hasil tanaman padi gogo.

Berdasarkan uji F interaksi antara pemberian abu sekam dengan varietas berpengaruh nyata pada variabel kandungan Si pada daun dan kandungan amilosa pada biji. Dari kedua variabel tersebut, setiap varietas memberikan respon yang bebeda-beda pada tiap dosis pemberian abu sekam.

Tabel 4. Interaksi lima varietas padi gogo pada empat taraf pemberian abu sekam terhadap variabel kandungan Si pada daun (%)

Varietas Dosis abu sekam
0 ton/ha 2 ton/ha 4 ton/ha 6 ton/ha
Situ Patenggang 3,36 c C (k) 7,64 b B (efg) 7,85 b B (de) 8,32 b A (b)
Limboto 7,32 ab C (hij) 7,98 a B (cd) 8,21 a B (bc) 8,79 a A (a)
Towuti 7,12 b D (j) 7,42 b C (ghi) 7,72 b B (def) 8,29 b A (b)
Batutegi 7,16 b D (ij) 7,55 b C (fgh) 7,88 b B (de) 8,21 b A (bc)
Aek Sibundong 7,51 a C (fgh) 7,88 ab B (de) 8,16 a A (bc) 8,41 b A (b)

Keterangan :
1. Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada dosis abu sekam yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.
2. Angka-angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada varietas yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen
3. Angka-angka yang diikuti huruf kecil dalam tanda kurung yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.


Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas dan pemberian abu sekam berinteraksi dalam mempengaruhi kandungan Si pada daun. Kandungan Si pada daun meningkat seiring dengan penambahan dosis abu sekam yang diberikan, namun varietas Situ Patenggang dan Limboto pada penambahan dosis abu sekam menjadi 4 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha, sedangkan varietas Aek Sibundong pada penambahan dosis abu sekam menjadi 6 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 4 ton/ha.
Kandungan Si daun tertinggi terdapat pada varietas Limboto dengan pemberian abu sekam dosis 6 ton/ha, yaitu 8,79 %, sedangkan yang terendah dimiliki varietas Situ Patenggang tanpa pemberian abu sekam (dosis 0 ton/ha), yaitu 3,36 %. Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa respon setiap varietas terhadap pemberian abu sekam menunjukkan pola yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa setiap dosis pemberian abu sekam mampu dimanfaatkan oleh setiap varietas padi gogo dalam menyerap Si dan mentranslokasikan Si ke bagian daun. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2006), tanaman menyerap Si dalam jumlah yang berbeda-beda tergantung kadar Si dalam tanah dan jenis tanamannya. Menurut Machlis et al. (1969, dalam Susanti, 2001), penambahan unsur Si menyebabkan meningkatnya kandungan Si pada tanaman melalui meningkatnya lapisan Si pada bagian epidermis daun.

Tabel 5. Interaksi lima varietas padi gogo pada empat taraf pemberian abu sekam terhadap variabel kandungan amilosa pada biji (%)

Varietas Dosis abu sekam
0 ton/ha 2 ton/ha 4 ton/ha 6 ton/ha
Situ Patenggang 18,19 e A (j) 18,02 e A (j) 17,93 d A (j) 17,84 d A (j)
Limboto 20,17 d A (h) 19,27 d B (i) 20,01 c A (h) 19,00 c B (i)
Towuti 23,36 b A (b) 22,42 b B (cd) 22,60 a B (c) 21,09 b C (fg)
Batutegi 24,88 a A (a) 23,24 a B (b) 22,79 a B (e) 21,82 a C (de)
Aek Sibundong 21,57 c A (ef) 20,84 c B (g) 21,79 b A (e) 21,40 ab AB (cd)

Keterangan :
1. Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada dosis abu sekam yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.
2. Angka-angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada varietas yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen
3. Angka-angka yang diikuti huruf kecil dalam tanda kurung yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian abu sekam memberikan respon yang berbeda pada setiap varietas yang dicoba pada variabel kandungan amilosa pada biji. Pada varietas Situ Patenggang, pemberian abu sekam dalam berbagai dosis tidak menurunkan amilosa biji. Pada varietas Towuti dan Batutegi, setiap penambahan dosis abu sekam menurunkan kandungan amilosa biji, namun pada penambahan dosis abu sekam menjadi 4 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha, sedangkan varietas Limboto dan Aek Sibundong mampu menurunkan kandungan amilosa biji pada pemberian abu sekam dosis 2 ton/ha dan 6 ton/ha.
Varietas Batutegi tanpa pemberian abu sekam (dosis 0 ton/ha) memiliki kandungan amilosa pada biji yang tertinggi (24,88 %), sedangkan terendah dimiliki varietas Situ Patenggang pada dosis 0, 2, 4, dan 6 ton/ha, yaitu berutut-turut 18,19 %, 18,02 %, 17,93 %, dan 17,84 %. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pemberian abu sekam menurunkan kandungan amilosa pada biji. Menurunnya kandungan amilosa biji tersebut diharapkan untuk meningkatkan kualitas beras, yaitu dapat menghasilkan nasi yang pulen. Menurut Damardjati dan Purwani (1991, dalam Haryanto, 2008), mutu rasa ditentukan berdasarkan derajat kesukaan panelis terhadap kepulenan, rasa, warna, dan aroma. Kadar amilosa merupakan sifat terbaik untuk menggambarkan kepulenan dan rasa nasi.



Tabel 6. Bobot gabah per rumpun (g) dan kandungan protein pada biji (%) lima varietas padi gogo yang diberi perlakuan empat taraf abu sekam

Perlakuan Variabel pengamatan
BGPR (g) KPPB (%)
V1A0 22.74 c 9,24 c
V1A1 15.94 d 8,91 cd
V1A2 15.36 d 9,75 b
V1A3 16.33 d 10,31 a
V2A0 20.27 cd 8,50 de
V2A1 16.74 cd 8,79 d
V2A2 16.23 d 9,15 cd
V2A3 18.40 cd 9,79 b
V3A0 39.58 ab 7,32 g
V3A1 33.76 b 7,61 fg
V3A2 36.59 ab 8,08 ef
V3A3 34.28 ab 8,50 de
V4A0 32.74 b 7,47 fg
V4A1 35.25 ab 7,85 f
V4A2 35.49 ab 8,32 e
V4A3 32.57 b 8,91 cd
V5A0 36.62 ab 7,85 f
V5A1 40.57 a 8,20 ef
V5A2 33.83 b 9,20 cd
V5A3 37.94 ab 9,66 b

Keterangan: Angka dalam variabel pengamatan yang sama bila diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf kesalahan 5 persen.
BGPR = bobot gabah per rumpun, KPPB = kandungan protein pada biji
V1 = varietas Situ Patenggang, V2 = varietas Limboto, V3 = varietas Towuti, V4 = varietas Batutegi, V5 = varietas Aek Sibundong
A0 = abu sekam (0 ton/ha), A1 = abu sekam 2 ton/ha, A2 = abu sekam 4 ton/ha, A3 = abu sekam 6 ton/ha

Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot gabah per rumpun tertinggi terdapat pada varietas Aek Sibundong dengan dosis abu sekam 2 ton/ha, yaitu sebesar 40,57 g. Hal tersebut menunjukkan bahwa Varietas Aek Sibundong dengan dosis abu sekam 2 ton/ha sudah mampu meningkatkan hasil. Kandungan protein biji tertinggi dimiliki varietas Situ Patenggang dengan dosis 6 ton/ha, yaitu sebesar 10,31 %. Tingginya kandungan protein biji varietas Situ Patenggang pada dosis 6 ton/ha didukung oleh faktor perlakuan mandiri. Berdasarkan faktor perlakuan mandiri terlihat bahwa varietas Situ Patenggang memiliki kandungan protein yang tertinggi, sedangkan pada faktor perlakuan abu sekam setiap penambahannya mampu meningkatkan kandungan protein pada biji, kandungan protein tertinggi diperoleh pada dosis abu sekam 6 ton/ha (Tabel 3).
Meningkatnya kandungan protein pada biji dipengaruhi oleh peningkatan kandungan prolin dan silikat pada daun dari pengaruh penambahan abu sekam ke dalam tanah. Prolin dan silikat mampu meningkatkan ketebalan dinding sel epidermis serta mampu meningkatkan aktifitas enzim, sehingga meningkatkan kandungan protein pada biji. Menurut Iyer dan Caplan (1997), prolin dapat berinteraksi dengan protein enzim untuk memelihara struktur dan aktivitas di dalam sel, mengurangi denaturasi enzim terhadap panas, serta dapat melindungi protein dan membran dari kerusakan oleh radikal hidroksil ketika stress menghambat proses transfer elektron.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya interaksi antara varietas dengan pemberian abu sekam terhadap variabel kuantitas hasil (jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah per rumpun, jumlah gabah per rumpun, jumlah gabah per malai, panjang malai). Keadaaan ini menunjukkan bahwa antara faktor perlakuan varietas dengan faktor pemberian abu sekam tidak secara bersama-sama dalam mempengaruhi kuantitas hasil padi gogo, tetapi hanya berpengaruh terhadap kualitas rasa. Gomez dan Gomez (1995), menyatakan bahwa dua faktor dikatakan berinteraksi apabila pengaruh suatu perlakuan berubah pada saat perubahan taraf faktor perlakuan lainnya.

V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Secara umum dari variabel yang diamati diketahui bahwa varietas Batutegi dan Aek Sibundong memiliki potensi untuk berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan varietas yang lain.
2. Pemberian abu sekam meningkatkan kandungan silikat daun sampai 29,43 %, prolin daun sampai 70,63%, dan protein biji sampai 6,92 %, serta menurunkan kandungan amilosa biji sampai 17,08 % dibanding kontrol, sehingga meningkatkan kualitas hasil, tetapi tidak meningkatkan kuantitas hasil.
3. Terdapat interaksi antara varietas padi gogo dengan pemberian abu sekam terhadap kandungan Si pada daun dan kandungan amilosa pada biji. Kandungan Si daun tertinggi terdapat pada varietas Limboto dengan pemberian abu sekam dosis 6 ton/ha, yaitu 8,79 %. Kandungan amilosa biji tertinggi dimiliki Varietas Batutegi tanpa pemberian abu sekam, yaitu 24,88 %. Tanaman padi gogo yang mempunyai harapan produksi tinggi, yaitu varietas Aek Sibundong dengan dosis abu sekam 2 ton/ha, sedangkan yang mempunyai kandungan protein biji yang tinggi, yaitu varietas Situ Patenggang dengan dosis abu sekam 6 ton/ha.

B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut secara analisis ekonomi antara pemberian abu sekam dengan kualitas hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., Suprijadi, dan Z. Susiana. 2004. Respon Padi Tipe Baru terhadap Variasi Pemupukan NPK. Bahan Seminar: Apresiasi Hasil Penelitian 2003. Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. 14 Hal.

Agarie, S., H. Uchieda, W. Agato., and P.B. Kayfman. 1999. Effect of Silicon on Stomatal Blue-light Response in Rice. Plant Prod. Sci : 2 (4) : 232-234.

Apriantono, A. 2009. Tokoh Perubahan 2008. (On-line), http://www.antonapriantono.com. Diakses tanggal 1 Maret 2010.

Basyir, A.S. Punarto, Suyatmo, dan Suprihatin. 1995. Padi Gogo. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. 45 hal.

Burbey, Adriyaswar, R. Boer, dan Y. Zubaidah. 1989. Tanggapan Padi Gogo terhadap Pemupukan Kalium dan Silikat pada Tanah Ultisol. Pemberitaan Penelitian Sukarami 15 : 26-31.

Darmawijaya M, I. 1990. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta. 408 hal.

Deptan. 2008. Basis Data Pertanian. Departemen Pertanian. (On-line), http://database.deptan.go.id/bdspweb/bdsp2007/hasil_kom.asp. diakses tanggal 4 Mei 2009.

Dyah, E.P. 2006. Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Genotip Padi Gogo pada Tanah Masam dengan Pemberian Silikat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 46 hal. (tidak dipublikasikan)

Febrynugroho. 2009. Manfaat Abu Sekam Padi. (On-line), http://febrynugroho.wordpress.com/2009/04/03/manfaat-abu-sekam-padi/. Diakses tanggal 4 April 2009.

Gardner, F. P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitcehell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 728 hal.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Staistika untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan A. Sjamsudin dan J.S Baharsyah. Edisi Kedua. UI Press, Jakarta. 432 hal.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha, B. H. Go, dan H. H. Balley. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. 488 hal.

Hamim, D., Sopandie, dan M. Jusuf. 1996. Beberapa Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Kedelai Toleran dan Peka Terhadap Cekaman Kekeringan. Hayati : 3 (1) : 30-34.

Hanny. 2002. Beras Makanan Pokok Sumber Protein. (On-line), www.gizi.net/cgi-bin/beritafullnews.cgi?newsid1023876933,9249. diakses tanggal 22 maret 2010.

Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. 233 hal.

Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu Dasar : 3 (2) : 98-103.

Haryanto, T.A.D. 2008. Upaya Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Padi Gogo Aromatik. Orasi Ilmiah. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 54 hal.

Houston,D.F, 1972, Rice Chemistry and Technology, American Association of Cereal Chemist.Inc, Minnesota. 363p.

Hutapea, J. dan A. Zummashar. 2005. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktifitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. (On-line), http://www.nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/ketahanan pangan.php. Diakses tanggal 4 mei 2009.

Ilyas, Syekluani dan Sugeng, P. (2000). Analisis Pemberian Limbah Pertanian Abu Sekam Sebagai Sumber Sillkat Pada Andisol dan Oxisol terhadap Pelepasan Fosfor Terjerap dengan Teknik Perunut 32p. (On-line), http://digilib.batan.go.id/e-prosiding/File%20Risalah%202000/2000/Ilyas-syek.Diakses tanggal 20 februari 2010.

Partohardjono, Soetjipto dan Amris Makmur. 1989. Peningkatan Produksi Padi Gogo. Hal 523-549. Dalam Ismunadji, M, Mahyuddin Syam, Yuswadi. Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Iyer, S. dan A. Caplan. 1997. Produk Dapat Menimbulkan Katabolisme Prolin Mengatur Osmotically Gen pada Tanaman Padi. (On-line), http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC35159/ . Diakses tanggal 20 Februari 2010.

Marschner, H. 1993. Mineral Nutrition in Higher Plant. Academic Press. Inc, London. 449p.

Masullili, A. 2005. Analisis Pertumbuhan Kedelai pada Histosols dengan Perlakuan Abu Sekam Padi dan Berbagai Tingkat Lengas Tanah. Jurnal Agrosains Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti Pontianak : 2 (1) : 30-42.

Naim, T. 1989. Pengaruh Pemberian Silikat dan Air Terhadap Serapan Hara dan Kebutuhan Air Tanaman Padi. Pemberitaan Penelitian Sukarami. Tahun 1989/1990, hal: 32-35.

Nanjo, T. 2001. Fungsi Biologis Prolin dalam Pertumbuhan dan Lingkungan Toleransi Stres Tinggi Tanaman. (On-line), http://sciencelinks.jp/j/article/200114/000020011401A0570420.php. Diakses tanggal 20 Februari 2010.

Noor, M. 1996. Padi Lahan Marginal. Penebar Swadaya, Jakarta. 213 hal.

Noraini, K., A. Ruzita, B. Nisak, A. Norimah, dan R. Asfaliza. 2008. Penentuan Kandungan Amilosa dalam Produk Beras Terpilih. (On-line), http://www.fskb.ukm.my/penerbitan/sihat2008/Pemakanan%20dan%20Dietetik/Noraini%20Kosnon%20ms%20158%20-%20160.pdf. Diakses tanggal 1 Maret 2010.

Parson, L.R., 1982. Palnt Responses to Water Strees dalam Christiansen, M.N. dan C.F Lewis. Breeding Plants for Less Proteins in Three Cultivar of Rice (Oryza sativa) with Different Levels of Dourth Tolerance. Plant Phisiology. 96: 284-290.

Prawiranata. W., S. Haran, dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 135 hal.

Razali. 1987. Penggunaan Pupuk Silikon untuk Mengatasi Fiksasi Fosfor oleh Sesquioksida pada Tanah Latosol (Oxisol). Buletin Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara : 6 (1-2) : 21-23.

Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono. 2006. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. 224 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995a. Fisiologi Tumbuhan jilid 1: Sel: Air, Larutan dan Permukaan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono, Penerbit ITB, Bandung. 241 hal.

Sitio, J., Widodo, dan B. Faiz. 2007. Pemanfaatan EM4 dan Abu Sekam Pdi untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Hasil Padi Surya di Tanah Gambut. Jurnal Akta Agrosia : 5 (1) : 36-40

Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 412 hal.

Suardi, D. 2002. Perakaran Padi dalam Hubungannya dengan Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan dan Hasil. Jurnal Litbang Pertanian : 21 (3) : 100-108.

Suhartatik, E., M.F. Murdani, Pulung, Otjum, Sudarman, dan C. Suwangsih. 2004. Pengaruh Waktu dan Pemberian Pupuk N dan K terhadap Peningkatan Gabah Isi pada Padi Hibrida. Makalah Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Sukamandi. 14 hal.

Suhendrata, T., A. Tyasdjaja, dan S. Bahri. 2007. Teknologi Budidaya Padi Gogo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ungaran. 17 hal.

Suprayogi, H. 2000. Potensi Biofungisida Trichoderma Harzinum dan Abu Sekam pada Penekanan Penyakit Rebah Semai, Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Buncis. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 73 hal. (tidak dipublikasikan)

Suryana, A. 2008. PADI Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Tanaman Padi. Jakarta. 498 hal.

Susanti, D. 2001. Tanggapan Karakter Agronomik Padi Gogo dengan Berbagai Tingkat Toleransi Keracunan Aluminium (Al) terhadap Pemberian Silikat (Si02). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 46 hal. (tidak dipublikasikan)

Sutedjo, M. M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta. 188 hal.

Suwarno, A.B., Surono, dan Z. Harahap. 1982. Hubungan antara Kadar Amilosa Beras dengan Rasa Nasi. Jurnal Penelitian Pertanian : 2 (1): 33-35.

Suyamto, M.A. dan Peninkhon. 1995. Efektivitas Beberapa Sumber Pupuk Kalium dan Sulfur pada Padi Sawah. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Malang. Hal 178-181.

Szabados, L. 2009. Prolin: Asam Amino yang Multifungsi. (On-line), http://www.mitochondrial.net/showabstract.php?pmid=20036181. Diakses tanggal 20 Februari 2010.

Tim Peneliti Padi Gogo Aromatik. 2009. Petunjuk Teknis Budidaya Padi Gogo Aromatik. Fakultas Pertanian UNSOED. Purwokerto. 21 hal.

Wambeke, A.V. 1992. Soil of The Tropics. Departemen of Soil, Crop and Atmospheric Sciences. Cornel Univ. Ithaca New York. 453p.

Yamaguchi dan Shinozaki , K. 2001. Fungsi Biologis Prolin dalam Osmotolerance di Antisense Tanaman Transgenik. (On-line), http://www.jircas.affrc.go.jp/english/publication/newsletter/2001/No.27/page3.pdf. Diakses tanggal 20 Februari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar